"Kalau polisi jeli, mereka (panitia, red.) dapat dipidanakan karena jelas sudah melakukan eksploitasi anak," kata Aris Merdeka Sirait, di Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu malam.
Menurut dia, banyak hal yang menunjukkan adanya eksploitasi terhadap Ponari, antara lain hilangnya kebebasan anak itu untuk bermain, belajar, maupun mendapatkan kasih sayang dari bapak biologisnya (ayah kandung, red.).
Bahkan tiga hari setelah ketenaran Ponari, kata dia, muncul sebuah buku yang mengisahkan tentang kehidupan anak itu lengkap dengan fotonya.
Ia menduga adanya pihak yang menyusun skenario di belakang ketenaran Ponari.
"Coba dalam tiga hari sejak Ponari terkenal, sudah muncul buku tentang anak itu lengkap dengan foto-fotonya. Saya saja yang penulis tidak dapat menyusun buku dalam waktu tiga hari," kata dia menegaskan.
Selain itu, dia mengkhawatirkan adanya kepentingan pihak-pihak tertentu seperti partai politik untuk memanfaatkan banyaknya kerumunan calon pasien Ponari untuk berkampanye.
"Jangan sampai pula para caleg (calon legislatif) meminta air dari Ponari agar menang," kata dia berkelakar.
Terkait adanya ekspolitasi terhadap Ponari, dia mengatakan, hari ini (Rabu, red.) Komnas Perlindungan Anak meminta praktik pengobatan tersebut dihentikan.
"Hari ini kita minta praktik pengobatan tersebut untuk disetop," katanya.
Selain masalah eksploitasi, kata Aris, ada beberapa alasan yang mendasari permintaan penghentian praktik pengobatan tersebut, yakni terjadi degradasi terhadap kaidah nilai keagamaan.
Menurut dia, para pasien Ponari telah meyakini batu sebagai pemberi kesembuhan, padahal seharusnya mereka meminta kepada Tuhan.
"Bahkan air comberan yang menurut agama kita sebagai najis, diminum oleh mereka dengan keyakinan dapat memberi kesembuhan," katanya.
Ia mengatakan, kalau memang batu milik Ponari benar-benar dapat menyembuhkan penyakit, mengapa ayah anak itu yang tergolek di rumah sakit tidak disembuhkan.
Di samping itu, kata dia, banyaknya pasien yang berdatangan ke rumah Ponari menunjukkan sebagai bentuk perlawanan atau protes orang miskin terhadap pelayanan bagi mereka di rumah sakit.
Menurut dia, hal itu merupakan bentuk kegagalan dari Departemen Kesehatan dalam memberikan hak-hak pelayanan kesehatan bagi warga miskin.
Ia mengatakan, Depkes harus bertanggung jawab atas mahalnya biaya pengobatan di rumah sakit.
Sementara pada diri Ponari, lanjutnya, telah terjadi perubahan psikologis yang menyebabkan anak itu menjadi "superstar" dan tidak lagi memiliki etika.
"Kondisi Ponari saat ini tidak seperti yang digambarkan dalam kesaksian teman-temannya. Menurut temannya, Ponari yang dulu terkenal sebagai anak pendiam, berbeda dengan sekarang," katanya.
Terkait hal itu, Aris menegaskan, Komnas Perlindungan Anak meminta praktik pengobatan Ponari harus dihentikan karena telah terjadi eksploitasi anak dan degradasi terhadap nilai keagamaan.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009