"Seyogyanya kondisi keamanan laut nasional makin terjamin. Namun, justru sebaliknya," katanya dalam Seminar Nasional Membangun Kejayaan Maritim Indonesia, di Jakarta, Rabu.
Menurut Tedjo, kenyataan yang terjadi selama ini adalah gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut masih terus berlangsung dari tahun ke tahun dan cenderung meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya.
Kondisi ini tentu sangat merugikan bangsa Indonesia dan berpotensi menghambat pembangunan ekonomi nasional mapun daerah, selain juga, merugikan bagi citra Indonesia di dunia internasional, khususnya negara-negara pengguna laut dan masyarakat pengguna jasa maritim pada umumnya.
"Dengan kata lain, seluruh pemangku kepentingan di republik ini diminta tanggung jawabnya terhadap konsekuensi logis Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982," katanya.
Ia menyebut, beberapa permasalahan yang menjadi kendala nyata dalam pengamanan dan penegakan hukum di laut, antara lain, regulasinya masih terjadi tumpang tindih tentang tugas dan kewenangan 13 instansi di laut. "Hingga 2008, ada 10 peraturan perundang-undangan yang tumpah tindih," katanya.
Kemudian, dari aspek operasional, penanganan maupun pengelolaan pengamanan serta penegakan hukum di laut di perairan yuridiksi Indonesia masih carut marut. "Ini berdampak munculnya opini dunia terhadap Indonesia sebagai `the most dagerous waters in the world`" katanya.
Karena itu, tegasnya, tidak ada jalan lain untuk mengatasi persoalan tersebut, kecuali membentuk sebuah badan tunggal yang diberi kewenangan penuh dalam pengamanan dan penegakan hukum di laut yurisdiksi nasional, disamping TNI AL sebagai komponen utama pertahanan negara matra laut.
"Badan tunggal itu, sebagaimana amanat UU No 17/2008 tentang Pelayaran adalah lembaga Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang berwenang melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan hukum di laut dan pantai untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut," katanya.
Lembaga ini nantinya akan bertanggung jawab kepada Presiden RI dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri Perhubungan RI sebagaimana tertuang dalam pasal 276-281 UU No 17/2008 tentang Pelayaran.
Berdasarkan perkembangan itu, Tedjo mengusulkan, sedikitnya ada dua alternatif untuk membentuk "Coast Guard" yakni, membentuk organisasi baru Coast Guard atau membentuk Coast Guard yang menggantikan usulan organisasi Bakamla yang diusulkan oleh Bakorkamla.
Alternatif pertama, katanya, dapat lebih leluasa pembentukannya dan lebih fleksibel dalam pemenuhan persyaratan sesuai kualifikasi yang diinginkan dengan resistensi konflik kepentingan dari instansi pihak terkait, relatif kecil.
Sedangkan, alternatif kedua, tambahnya, organisasi Bakorkamla sejauh ini sudah independen dan tugas pokoknya telah fokus pada masalah pengamanan dan penegakan hukum di laut serta tidak bersifat sektoral.
Menanggapi dua alternatif ini, Badan Pengawas Institute for Maritime Studies, B. Kent Sondakh lebih cenderung memilih alternatif pertama. "Dua alternatif yang disampaikan KASAL itu, juga merupakan buah pemikiran yang kami sampaikan," katanya.
Ia memberikan contoh, negara yang membuat Coast Guard benar-benar baru adalah Malaysia dan bagi personil yang bersedia bergabung yang berasal dari Angkatan Laut Malaysia, diberi kenaikan pangkat dua tingkat.
"Soal Coast Guard berada dibawah koordinasi instansi apa, sebagian besar di dunia adalah di bawah Departemen Transportasi, tetapi ada juga yang lain, misalnya, Coast Guard Kanada di bawah Departemen Kelautan, di Amerika Serikat, Coast Guard di bawah Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat dan di India, di bawah Menteri Dalam Negeri," kata Sondakh.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009