Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Desa Kulati, Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dikenal cukup arif dalam menjaga keseimbangan alam. Setidaknya, itu tercermin dari cara mereka memperhatikan ekosistem di kawasan Taman Nasional Wakatobi secara berkelanjutan.

Salah satu cara mereka merawat dan menjaga alam ialah dengan menangkap ikan menggunakan alat yang ramah lingkungan. Meskipun memang pada rentang waktu 1999 hingga 2006, daerah itu sempat mengalami krisis ketersediaan ikan akibat aktivitas pengeboman di laut lepas yang dilakukan sejumlah nelayan.

Berangkat dari masalah itu, La Asiru (81), salah seorang pencetus berdirinya Bank Ikan Desa Kulati, mengajak masyarakat setempat untuk kembali pada cara-cara yang mementingkan kearifan lokal dalam merawat serta memanfaatkan alam. Mereka dapat merujuk pada upaya serupa dengan yang diajarkan oleh para leluhur.

"Leluhur kami mengatakan ketika alam diambil secara bebas, maka akan habis. Sehingga mereka dahulunya menakut-nakuti bahwa akan muncul binatang buas dari laut apabila ada yang bersikap tamak," ujar dia.

Bank ikan merupakan tempat dimana orang-orang tidak bisa sembarangan menangkap ikan. Kawasan itu digunakan sebagai lokasi pemijahan dan pengembangbiakan ikan. Bank ikan tersebut berada di laut lepas dengan luas sekitar 32 hektare (ha). Kawasan ini dibuat atas kesepakatan bersama masyarakat Desa Kulati.

La Asiru (81) (sebelah kiri) didampingi istri merupakan salah seorang pencetus berdirinya Bank Ikan Desa Kulati. (ANTARA/Muhammad Zulfikar)

Tujuan utama dibuatnya bank ikan tersebut ialah agar masyarakat dapat menangkap ikan saat musim angin timur. Masa ini terjadi pada rentang Mei hingga Oktober. Pada saat itu, para nelayan tidak berani melaut karena cuaca tidak bersahabat.

Artinya, masyarakat setempat tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka selama enam bulan tersebut. Tentunya, mereka akan menangkap ikan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Di Pulau Tomia, kata La Asiru yang akrab disapa Bapak Tua itu, terdapat lima bank ikan yang dikelola masyarakat dengan rincian tiga di Kelurahan Waha, satu di Kelurahan Usuku dan satu lagi berada di Desa Kulati.

Pria paruh baya itu kemudian melanjutkan cerita tentang kesedihannya kala melihat alam bawah laut Desa Kulati yang porak poranda dibom secara membabi buta oleh masyarakat setempat. Pada prinsipnya, bagi mereka alam ibarat orang tua sendiri sehingga harus dijaga dan dirawat sebaik mungkin.

"Pada 2000, saya kembali ke Tomia setelah meninggalkan kampung halaman sejak 1970 ke Maluku. Namun, saya begitu sedih melihat kerusakan ini saat kembali," katanya.

Setibanya di tanah kelahiran, La Asiru bersama sejumlah tetua adat lainnya mengajak masyarakat untuk saling bekerja sama menjaga alam. Usaha mereka pun tidak sia-sia. Ini terbukti dengan mulai banyaknya ikan-ikan saat ini dan bahkan mudah untuk mereka dapatkan. Hanya saja, pada saat musim angin timur mereka tidak berani melaut dan mengandalkan keberadaan bank ikan.

"Saya mencintai alam seperti saya mencintai orang tua saya sendiri," kata dia.

Ke New York

Konsep keberlangsungan alam dengan menerapkan bank ikan sebagaimana dilakukan oleh masyarakat Desa Kulati ternyata tidak hanya menyelamatkan krisis ikan yang terjadi pada 1999 hingga 2006. Pada 2010, Komunitas Nelayan Tomia (Komunto) mendapat penghargaan Equator Prize dan diundang ke New York atas komitmen mereka dalam menjaga kelestarian alam dengan konsep kearifan lokal.

Atas penghargaan tersebut, salah seorang perwakilan Komunto datang langsung ke New York untuk menerima penghargaan berskala internasional itu. Tentu saja capaian tersebut tidak terlepas dari cara masyarakat setempat yang dalam merawat alam dengan konsep mengutamakan kearifan lokal.

Pencapaian itu juga mendapat apresiasi dari WWF Indonesia dan The Nature Conservancy (TNC). Keduanya merupakan Non-Governmental Organization (NGO) yang fokus terhadap lingkungan.

Prestasi yang diraih oleh Komunto tersebut sejatinya hanyalah bonus dari apa yang telah mereka lakukan. Sebab, pada prinsipnya menjaga alam secara berkelanjutan bagi mereka merupakan suatu tanggung jawab dan mesti dilanjutkan untuk anak cucu mereka.

Gurita Wakatobi

Tidak hanya di Tomia, masyarakat di Pulau Kaledupa yang merupakan bagian atau gugusan dari Kepulauan Wakatobi ternyata memiliki kearifan lokal tersendiri pula dalam menjaga keseimbangan alam. Tepatnya di Desa Darawa.

Di daerah itu, masyarakat lokal membuat semacam kawasan khusus yang diberi nama "Program Gurita Wakatobi" dimana segala macam ekosistem di zona yang ditetapkan itu tidak boleh diambil selama tiga bulan.

Program Gurita Wakatobi awalnya merupakan hasil kerja sama antara masyarakat setempat dan NGO yang bernama Blue Ventures, sebuah lembaga internasional yang konsen dalam isu lingkungan pada 2016.

Salah seorang anggota Forum Kahedupa Toudani (Forkani) Mursiati (paling kanan) memaparkan program gurita wakatobi.
(ANTARA/Muhammad Zulfikar)

Salah seorang anggota Forum Kahedupa Toudani (Forkani) Mursiati mengatakan hasil tangkapan gurita dari penerapan program tersebut terbilang fantastis.

Bayangkan saja, 76 nelayan di desa itu bisa menghasilkan satu ton lebih gurita segar siap jual selama satu bulan. Itu belum termasuk hasil tangkapan dari Suku Bajo yang mendiami wilayah tersebut. Jika dirata-ratakan, seorang pengepul di Wanci, Kecamatan Wangi-wangi dapat mengumpulkan 11 ton gurita hanya dalam waktu seminggu.

"Gurita itu dijual ke Kendari," ujar dia.

Secara keseluruhan, terdapat 14 area yang ditetapkan masyarakat sebagai kawasan gurita. Satu di antaranya sama sekali tidak boleh diambil selama tiga bulan ke depan. Selama penutupan, bukan hanya gurita yang tidak boleh ditangkap, melainkan seluruh biota laut yang ada di kawasan itu.

Penutupan kawasan khusus gurita tersebut diberlakukan pada Juli hingga September. Dengan kata lain, pengembangbiakan dilakukan sejak awal tahun dan kemudian peniadaan penangkapan diberlakukan selama tiga bulan berikutnya.

Setelah kurun waktu penutupan tersebut, gurita-gurita itu akan dipanen. Artinya, hanya ada satu kali panen dalam kurun waktu setahun dan masyarakat berharap penuh untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.

Di samping itu, penutupan dan pembukaan kawasan gurita dilakukan tidak sembarangan. Masyarakat setempat juga melakukan semacam ritual adat agar mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan saat panen. Bahkan, mereka para nelayan akan berlomba-lomba menangkap gurita setelah kurun waktu tiga bulan penutupan.

"Pada tujuh hari pertama, yang boleh menangkap hanyalah masyarakat Desa Darawa saja. Setelah itu, siapa saja termasuk Suku Bajo boleh ikut serta," katanya.

Baca juga: Kisah pemuda perakit bom jadi penyelamat laut Wakatobi
Baca juga: Yayasan konservasi identifikasi sebaran dan manfaat mangrove

Nelayan Perempuan

Ada yang unik dari penerapan program Gurita Wakatobi tersebut, di mana kaum hawa juga memiliki otoritas dan kawasan tersendiri untuk menangkap gurita.

Nelayan laki-laki memiliki luas area 50,3 ha, sedangkan nelayan perempuan 23 ha. Adanya pembagian wilayah kekuasaan ini didasari oleh ketimpangan sosial yang terjadi pada awal-awal program itu diterapkan.

"Jadi kaum perempuan merasa dirugikan karena tidak bisa leluasa seperti nelayan laki-laki. Akhirnya muncul kebijakan pembagian wilayah masing-masing yang ditandai dengan bendera merah dan biru," ujar dia.

Uniknya, saat musim panen gurita di kawasan nelayan laki-laki, kaum perempuan tetap boleh ikut serta memanen. Sementara saat musim panen di kawasan perempuan, nelayan laki-laki dilarang ikut. Namun, hal tersebut tidak pernah menjadi masalah karena merupakan bagian dari kearifan lokal.

Hasil alam yang berlimpah tersebut otomatis berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat di Desa Darawa dan sekitarnya. Untuk nilai jual gurita berbeda-beda tergantung dari segi ukuran. Gurita yang memiliki bobot 1,5 kilogram ke atas dihargai Rp23 ribu per kilogram. Ukuran satu hingga 1,4 kilogram atau kategori B dijual seharga Rp17 ribu dan kategori C atau bobot antara 0,5 hingga 0,9 kilogram dijual Rp10 ribu.

Meskipun menjanjikan, bisnis gurita di laut Kaledupa tidak selamanya bisa menjamin pendapatan masyarakat di daerah itu. Apalagi, ada pasokan gurita masuk dari daerah lain ke Kendari yang juga bisa merusak harga di pasaran.

Tidak hanya itu, apabila tidak hati-hati pascapenangkapan atau kurang memerhatikan kandungan air di gurita, maka otomatis nilai jualnya pun turun drastis. Hal tersebut sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu dimana 200 ton gurita asal Surabaya ditolak sehingga turut memengaruhi pasaran.

"Saat gurita datang, isi kepalanya dikeluarkan kemudian dikasih es. Jadi kalau terlalu lama di perjalanan otomatis kandungan air juga banyak sehingga memengaruhi nilai jual," ujarnya.

Kearifan lokal masyarakat di dua daerah itu hingga kini terus diterapkan. Mereka sadar betul bahwa alam harus dijaga demi kelangsungannya. Apalagi, Kabupaten Wakatobi diberkahi karena seluruh teritorialnya merupakan kawasan taman nasional yang dijaga penuh oleh pemerintah dan masyarakat hukum adat.

Baca juga: Yayasan: Kajian ilmiah dan masyarakat adat berkaitan jaga lingkungan
Baca juga: Festival Sains dan Budaya 2020 angkat kearifan lokal dan budaya bangsa

Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2020