Hal itu dikemukakan mantan snggota Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja khususnya menyangkut pasal 27 dan 28 UU tersebut.
"Pasal-pasal itu normanya kabur, multi tafsir dan keputusannya sangat tergantung kepada hakim," katanya dalam diskusi mengenai UU ITE yang berlangsung di gedung JMC, Jl Kebon Sirih, Jakarta, Rabu.
Atmakusumah menggemukakan tidak semua hakim menguasai dunia jurnalistik sehingga diperkirakan kebebasan pers kedepannya akan terganggu.
UU ITE disahkan DPR RI pada akhir Maret 2008 dan merupakan gabungan dari dua Rancangan Undang Undang (RUU) yakni RUU Informasi dan RUU Transaksi Elektronik.
UU tersebut kemudian diajukan untuk "judicial review" ke Mahkamah Agung oleh Narliswandi Piliang terutama untuk pasal karet antara lain pasal 27 dan 45.
Pasal 27 berisi aturan pemidanaan bagi penyebar dokumen elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan dan ancaman.
Sanksi yang ditetapkan juga dinilai berat yakni denda hingga Rp1 miliar dan penjara hingga 6 tahun.
Atmakusumah menilai denda yang ditetapkan itu terlalu besar dan merugikan dunia jurnalistik di Indonesia.
"Denda Rp1 miliar itu untuk pers Indonesia kalau gak bangkrut ya setengah bangkrut," katanya mencontohkan.
Ia menyebut hal tersebut sebagai kriminalisasi terhadap pers.
Pasal pencemaran nama baik juga disebut Atmakusumah sebagai kriminalisasi terhadap pers karena pasal karet itu tidak seharusnya dicantumkan dalam UU manapun.
Ia membandingkan dengan banyak negara lain di dunia yang sudah menghapuskan pasal pencemaran nama baik, termasuk negara miskin.
"Dari 18 negara paling miskin, empat diantaranya sudah melakukan reformasi hukum dan tidak ada pasal penjara bagi wartawan atau penceramah selama menyangkut kebebasan pers dan kebebasan berekspresi," paparnya.
Masalah pencemaran nama baik disebut Atmakusumah seharusnya dibahas lewat kode etik jurnalisme dan bahwa masyarakat dapat menggunakan hak jawab mereka jika menyangkut pers.
Pengamat hukum tata negara Denny Indrayana menyebut langkah melakukan judicial review terhadap UU ITE sudah tepat.
"Sudah tepat, tapi perjuangan di Mahkamah Institusi akan berat," katanya.
Kesulitan itu antara lain karena UU ITE tidak hanya membahas mengenai pencemaran nama baik atau penyebaran informasi terkait dunia jurnalistik saja namun juga membahas mengenai "hacking", transaksi elektronik dan hak atas kekayaan intelektual.(*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009