Jakarta (ANTARA News) - Di usianya yang ke-42, ada kebutuhan mendesak bagi Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk mengubah menjadi organisasi berdaya tekan politik tinggi.
Dibanding Uni Eropa misalnya, ASEAN terasa jalan di tempat. 42 Tahun setelah Masyarakat Ekonomi Eropa berdiri, Eropa mengukuhkan kerjasama intra mereka menjadi lebih mengikat dan efektif setelah menyepakati Perjanjian Maastricht pada 1 November 1993 bagi berdirinya Uni Eropa.
Uni Eropa kini beranggota 27 negara dan menghimpun 500 juta manusia atau setara penduduk ASEAN, serta mengambil porsi 30 persen (16,8 triliun dolar AS) total produk domestik bruto dunia.
Dalam Uni Eropa, ada kelembagaan eksekutif dan legislatif sehingga organisasi ini memiliki aspek pemaksa politik yang membuatnya sangat bergigi.
Hampir semua persoalan Eropa selalu dibawa dalam mekanisme Uni Eropa, termasuk pengkajian kembali konsep kerahasiaan perbankan Swiss dan krisis distribusi gas Rusia beberapa waktu lalu.
Tak seperti ASEAN, negara yang mendapat giliran mengetuai Uni Eropa --priode ini Republik Ceko-- selalu mampu merepresentasikan sikap Eropa terhadap banyak hal yang menjadi hirauannya, seperti upaya mencari resolusi konflik Hamas-Israel. Jikapun negara lain berprakarsa, sebutlah Prancis, maka penanggunjawab sikap Eropa tetaplah Republik Ceko.
Ini berbeda dengan ASEAN yang sedang dipimpin Thailand. Kasus pengungsi Rohingya malah terabaikan karena Thailand malah sibuk mengurusi dirinya sendiri.
Tak heran, 42 tahun sejak Deklarasi Bangkok bagi pendirian ASEAN ditandatangani Malaysia, Filipina, Thailand, Indonesia dan Singapura pada 8 Agustus 1967, ASEAN masih saja mencari cara untuk berubah menjadi organisasi regional yang bertaji.
Mekanisme ASEAN lebih suka mengambil peran konsultatif sehingga tidak sekuat Uni Eropa dalam menyelesaikan isu keamanan, politik dan ekonomi lintas batas.
Sengketa perbatasan Kamboja-Thailand atau Indonesia-Malaysia mengenai Sipadan-Ligatan misalnya, tak diselesaikan dalam forum ASEAN, setidaknya dikonsultasikan, sebaliknya langsung dibawa ke forum internasional, sebuah antidelegasi atas intermediasi ASEAN.
Dipertanyakan
Tidak heran, mengutip analis ASEAN dari Thailand Pokpong Lawansiri, signifikansi dan relevansi ASEAN terus dipertanyakan dari tahun ke tahun.
Pokpong menyatakan, ASEAN lebih sering beretorika ketimbang mengimplementasikan kebijakan yang langsung menjejak masalah di lapangan. Dari 600an pertemuan antar-ASEAN tiap tahun, hanya 50 persen yang sungguh menghasilkan kesepakatan yang bisa diimplementasikan.
Visi ASEAN 2020 yang ingin membangun ASEAN sebagai komunitas yang saling memperhatikan dan berbagi, juga berkontradiksi dengan sikap PM Thailand Abhisit Vejjajiva yang mengetuai ASEAN setelah menyebut pengungsi Rohingnya sebagai imigran gelap yang harus diusir, bukannya dikanalisasi.
Negara-negara ASEAN juga acap tidak serius menggunakan mekanisme ASEAN. Tahun lalu, saat Thailand dan Kamboja menyengketakan Kuil Preah Vihear, PM Kamboja Hun Sen malah mengadu langsung ke PBB, tidak menempuh dulu mekanisme ASEAN. Dimanakah "Asean Way?"
ASEAN juga tidak serius memperhatikan organisasi-organisasi penyokong masyarakat madani Asia Tenggara seperti ASEAN Foundation yang tidak beroleh perhatian sebanyak yang diberikan pada Asia-Europe Foundation misalnya.
Padahal, sebagai organisasi yang memiliki fungsi seperti Badan Bantuan Pembangunan AS (USAID), ASEAN Foundation mestinya disokong kuat pemerintahan ASEAN demi menciptakan dan memperluas masyarakat madani Asia Tenggara.
Situasi serupa dialami ASEAN Institute for Strategic and International Studies yang mengemban tugas resmi dari ASEAN untuk menjembatani kesenjangan antara birokrasi formal ASEAN dengan masyarakat sipil.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak seperti Uni Eropa atau bahkan OAS (Amerika) dan OAU (Afrika), ASEAN acap ragu menghentikan manuver-manuver anti demokrasi dan HAM, diantaranya aksi ultrarepresif junta Myanmar terhadap aksi masyarakat sipil dua tahun lalu.
"ASEAN akan selalu menjadi sandera bagi satu atau lebih anggotanya. Efektivitas dan relevansinya dalam bahaya," kata Debbie Stothard, koordinator Alternative ASEAN Network on Burma seperti dikutip AFP (23/2).
ASEAN juga sering terlambat menyikapi pemerintah yang mengesampingkan kepentingan bersama ASEAN, dengan alasan tabu mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
Sikap ini tercermin dari mematungnya ASEAN atas ulah Thailand yang berulangkali menunda Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN.
Kamboja, Vietnam dan Laos secara terbuka menyampaikan kekesalannya pada Thailand yang "egois," namun siakp mereka tidak merepresentasikan sikap bersama ASEAN.
Komitmen kebersamaan ASEAN acap disisihkan oleh anggotanya, tapi ASEAN malah tak bisa berbuat banyak mengatasi hal ini kecuali menunggu perubahan yang justru sering merusak kesempatan emas melakukan diskusi lebih komprehensif dalam mengatasi situasi kritis yang dihadapi ASEAN.
Indochina ingin menggunakan KTT ASEAN sebagai momentum untuk mendekati para pemimpin China, Jepang dan Korea Selatan demi membantu mengatasi dampak krisis global yang sudah aktual dirasakan Asia Tenggara sehingga injeksi keuangan internasional dari tiga besar Asia, disamping Rusia, Uni Eropa, AS, India dan Australia, sangat dibutuhkan ASEAN.
Sikap ASEAN dalam melihat gerakan ekstra parlementer seperti terjadi di Thailand itu seharusnya lebih terang lagi.
Jelas prinsip nonintervensi telah mengibiri kemampuan ASEAN untuk tanggap menutup tragedi sosial seperti terjadi di Myanmar dan tragedi demokrasi seperti di Thailand.
Sudah waktunya ASEAN menegaskan bahwa permainan kehidupan bernegara harus berjalan pada rel yang menurut kepatutan universal.
Prinsip ini pula yang menerbitkan kekhawatiran tidak cukup efektifnya komitmen menjunjung HAM dan demokratisasi Asia Tenggara.
"ASEAN menyebut mekanisme hak asasi manusia ASEAN dapat memajukan dan melindungi hak-hak sipil rakyat ASEAN, tapi selubung prinsip non intervensi akan menghambat upaya itu," kata koordinator Human Rights Watch, Thailand, Sunai Phasuk.
Sebaliknya, mantan ketua Komisi HAM PBB, Makarim Wibisono, menyatakan Lembaga HAM ASEAN akan memajukan dan melindungi hak-hak sipil rakyat ASEAN.
"Kami mulai mengintegrasikan pemikiran-pemikiran kami dan memajukan nilai hak asasi manusia dari tubuh kami sendiri dan manakala situasi menjadi kondusif maka perlindungan HAM bisa efektif," kata Makarim dalam seminar internasional mengenai badan HAM ASEAN di Jakarta awal Desember 2008.
Unik dan sukses
Namun dibalik itu semua, harus diakui ASEAN lebih unik dibanding organisasi subregional lain yang bahkan dalam kondisi ini ASEAN mampu bertahan hampir setengah abad dan menjadi stabilisator kawasan.
Dalam ASEAN, ada demokrasi bebas seperti Indonesia dan Filipina, sosialis dan penganut satu partai seperti Vietnam dan Laos, monarki absolut Brunei Darussalam, Kamboja yang sosialis multipartai, junta militer Myanmar, rezim otoriter yang sangat makmur seperti Singapura, Malaysia yang campuran monarki multipartai, dan demokrasi liberal bercampur supremasi royalis dan dominasi militer di Thailand.
Lain dari itu, tidak seperti Uni Eropa yang homogen dalam tradisi sosial, ASEAN terbagi pada negara-negara bermayoritas muslim seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei, Filipina yang mayoritas Katolik, dan Budhisme yang menaungi Thailand, Myanmar dan Indochina.
Bahkan dengan komposisi seperti itu, ASEAN bersatu menjadi forum yang berhasil mencegah intervensi internasional dalam urusan Asia Tenggara.
Oleh karena itu, meskipun misalnya Myanmar mempunyai hubungan strategis dengan dua tetangga raksasanya --India dan China-- negara itu berketetapan hati membutuhkan ASEAN karena ASEAN dampak alienasi internasional dari AS dan Uni Eropa tidak terlalu memburukkan Myanmar.
Kesediaan Myanmar untuk menandatangani Piagam ASEAN yang diantaranya berisi prinsip demokratisasi dan HAM adalah isyarat bahwa ASEAN merupakan jalan keluar rasional untuk Asia Tenggara.
Mungkin saat ini junta militer tidak bisa "disadarkan," namun suatua ketika "ASEAN way" mungkin bisa mengubah prilaku junta, daripada dengan mengasingkannya yang terbukti malah memperlemah oposisi dibawah Aung San Suu Kyi.
Dalam satu tulisannya pada 2003, peneliti Riefki Muna dari Indonesia, menyebut ASEAN mampu membuktikan diri sebagai organisasi subregional paling sukses dalam menciptakan stabilitas kawasan.
Kendati ASEAN tidak berkembang sebagai resolusi konflik, namun lewat kerjasama lintas kawasan seperti dengan Prancis dan Australia, resolusi konflik Kamboja misalnya, bisa ditercipta dan menghentikan pergolakan di negeri itu.
Di matra ekonomi, mekanisme ASEAN tambak lebih efektif dibanding bidang kerjasama lain, terutama promosi ekonomi pasar bebas lewat Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA).
ASEAN bahkan akan membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015 yang mungkin menjadi prolog bagi Uni Asia Tenggara seperti Uni Eropa di benua biru.
Soal ekonomi dan perdagangan tampak lebih serius digarap ASEAN yang salah satunya termanifestasi dalam ide IMF regional Asia yang bertugas menjadi lembaga penyedia dana manakala ASEAN dan Asia tertimpa krisis.
Inisiatif ASEAN yang terusan Prakarsa Chiang Mai ini mempromosikan Asian Monetary Fund dengan menghimpun 120 miliar dolar AS untuk mengatasi krisis global dan krisis-krisis lain di masa depan.
"Saya kira Asian Monetary Fund adalah hal logis untuk direnungkan, namun berapa lama itu bisa diwujudkan tergantung pada keputusan para pemimpin Asia," kata Sekretaris Jendral ASEAN Surin Pitsuwan seperti dikutip Dow Jones.
Minggu pekan lalu, para menteri keuangan ASEAN bertemu dengan mitra-mitranya dari China, Jepang dan Korea Selatan untuk menyepakati penggalangan dana 120 miliar dolar AS untuk membantu kawasan mengatasi dampak krisis keuangan global.
ASEAN kebagian menyetor 20 persen, sementara tiga tetangga raksasa setuju menggelontorkan bagian 80 persen. Sayang, waktu pelaksanaan belum ditentukan.
"Tidak banyak yang bisa dilakukan ASEAN. Resesi global telah mempengaruhi semua orang dan bagi negara yang mempunyai pasar domestik besar, mereka akan mengalihkan perhatian ke dalam negeri guna mengatasi perlambatan (ekonomi)," kata Song Seng Wun, ekonom regional CIMB-GK Research di Singapura.
Song mengisyaratkan,sejumlah negara, paling mungkin Indonesia, akan memproteksi pasar, apalagi jika AS dan China mendahului langkah ini.
Namun, fakta bahwa Prakarsa Chiang Mai mendapat sambutan positif dari China, Jepang dan Korea Selatan, bahkan India ingin bergabung di dalamnya, membuktikan bahwa ASEAN sukses mempromosikan inisiatif-inisiatif ekonomi transnasional sehingga Eropa, Australia, AS dan Rusia meliriknya.
AS dibawah Presiden Barack Obama bahkan membanting stir diplomasi yang semasa pemerintahan George Bush mengabaikan ASEAN.
"Sekarang waktunya bagi Amerika Serikat dan ASEAN untuk bersatu menghadapi masalah-masalah global seperti isu keamanan internasional, krisis ekonomi, perubahan iklim dan hak asasi manusia," kata Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, 19 Februari lalu.
Tak hanya karena penduduknya sebesar Uni Eropa, ASEAN adalah juga salah satu ekonomi bertumbuh pesat di dunia. Singapura disebut bakal menggantikan Swiss sebagai pusat perbankan global yang aman, sedangkan Indonesia, Vietnam dan Filipina akan menyeruak menjadi kekuatan global.
Bank investasi AS, Goldman Sachs, dalam Global Economic Paper 28 Maret 2007, menyebutkan pada 2050 tiga negara ASEAN akan menjadi anggota 20 top berPDB terbesar di dunia, yaitu Indonesia di urutan ketujuh (dibawah China, AS, India, Brazil, Meksiko dan Rusia), Vietnam di urutan 15 dan Filipina urutan 17.
Artikulasi
Namun dibawah prestasi dan potensi kekuatan yang besar, ASEAN tetap perlu lebih mengartikulasikan diri menjadi organisasi berkekuatan besar dalam meluruskan manuver anti demokrasi, anti HAM, isu tenaga kerja asing, kejahatan transnasional, korupsi, sengketa perbatasan, dan perlombaan senjata.
Kalau Uni Eropa bulat membuat kawasannya bebas korupsi dan penjahat HAM, ASEAN acap ragu menegaskan sikapnya dalam dua persoalan paling disorot dunia ini.
Tak berhasilnya ratifikasi perjanjian ekstradisi pelaku korupsi Indonesia-Singapura adalah contoh betapa ASEAN mandul karena memberi ruang lebih besar bagi pendekatan bilateral yang hasilnya malah menjauhkan fungsi mekanisme ASEAN.
Pada kebanyakan kasus, manuver yang hanya dibawa ke tingkal bilateral jarang mencapai kesepakatan. Padahal, isu-isu seperti korupsi adalah juga kejahatan kemanusiaan dan prilaku teror yang tidak patut beroleh perlindungan sistem formal kebijakan.
Sebuah negara mungkin diuntungkan oleh dana para koruptor, tetapi itu seharusnya mempertimbangkan bahwa sebuah negara lainnya dan kesempatan pembangunan sosial rusak gara-gara digerogoti koruptor yang mengungsi dan memarkir hasil korupsinya di luar negeri.
Ada persoalan moral dibalik komitmen anti korupsi, bukan lagi sebatas investasi ekonomi dan ASEAN harus dibawa ke ruang lebih lebar dari sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi.
Mungkin masalah efektivitas ASEAN muncul karena tradisi pemerintahan Asia Tenggara yang serba jengah sehingga enggan saling mengingatkan.
Mungkin sikap jengah ini telah membuat ASEAN mempromosikan pendekatan berbasis rakyat sehingga kalangan ekstra birokrasi diberi peran lebih luas dalam mengefektifkan mekanisme ASEAN, terutama dalam resolusi konflik intra Asia Tenggara.
Tapi, bisa jadi manuver ini menjadi selubung bagi penegasan sikap nonintervensi sehingga birokrasi formal dan otoritas yang gagal meluruskan kecenderungan politik regional, kian membuat ASEAN menjadi organisasi solidaritas belaka.
Kini, 27 Februari sampai 1 Maret, ASEAN menyelenggarakan KTT yang tak dihadiri para pemimpin tiga mitra kunci --China, Jepang dan Korea Selatan-- dengan fokus yang belum mengerucut karena ASEAN mungkin menghadapi krisis kepemimpinan.
"Dalam ASEAN, tantangan terbesar adalah persoalan kepemimpinan yang menciptakan fragmentasi sehingga pertemuan kali ini tidak memiliki fokus," kata Bridget Welsh, spesialis Asia Tenggara pada Universitas Johns Hopkins, seperti dikutip AFP.
ASEAN sendiri menyatakan agenda kunci pertemuan yang akan berlangsung dari Jumat sampai Minggu pekan ini di Hua Hin, Thailand, adalah membahas bagaimana kawasan mengatasi dampak krisis keuangan global.
Namun Bridget menyebut ASEAN telah kehilangan momentum karena negara-negara besar mitra ASEAN gagal hadir, mungkin karena penundaan berulang-ulang telah mengirim sinyal bahwa ASEAN tidak serius bersikap.
Sebaliknya, mantan Sekretaris Jenderal ASEAN Rodolfo Severino, menyatakan ASEAN telah berhasil mengatasi masalah-masalah sangat serius di masa lalu.
"ASEAN akan terus menjadi pendorong utama bagi kerjasama regional yang lebih luas dan perlu diperkuat. Artinya, ASEAN memiliki tanggungjawab yang besar dan mesti menampilkan kepemimpinan yang lebih kuat," kata Ketua Pusat Kajian ASEAN pada Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, ini. (*)
Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009