Ada tiga mitos yang ingin saya sanggah hari ini. Pertama, banyak yang mengatakan pengembangan energi terbarukan butuh waktu lama, padahal kenyataannya tidak
Jakarta (ANTARA) - Duta Besar Denmark untuk Indonesia Rasmus Abildgaard Kristensen menyampaikan sanggahan terhadap tiga anggapan umum yang menyebut pengembangan energi baru dan terbarukan sulit dilakukan.
Sanggahan itu disampaikan Dubes Rasmus saat menjadi pembicara diskusi bertajuk "Getting Real with Renewable Energy: Can Indonesia Become a Serious Green Superpower in Next Five Years" yang diadakan oleh Foreign Policy Community in Indonesia (FPCI) di Jakarta, Rabu.
"Ada tiga mitos yang ingin saya sanggah hari ini. Pertama, banyak yang mengatakan pengembangan energi terbarukan butuh waktu lama, padahal kenyataannya tidak," kata Dubes Rasmus.
Ia menjelaskan Denmark mulai mengurangi penggunaan bahan bakar fosil pada 2005 karena salah satu alasannya harga minyak dunia jatuh dan berdampak cukup keras pada sektor ekonomi. Saat itu, Denmark, yang jadi salah satu importir utama minyak dunia, berupaya membangun ketahanan energi dalam negeri dengan mengembangkan industri terbarukan.
"Pada 1995, penggunaan energi fosil kami masih dominan. Namun pada 2005, mulai terlihat ada perubahan sampai pada tahun ini, penggunaan energi terbarukan jadi yang dominan," terang Dubes Rasmus.
Baca juga: Pakar: investor lebih tertarik tarif listrik EBT sesuai harga pasar
Baca juga: IEEFA : "feed in tarif" dapat digunakan untuk memulai investasi EBT
Ia menyampaikan pemerintah Denmark menargetkan penggunaan 100 persen energi terbarukan pada 2030. "Proses itu tidak membutuhkan waktu lama yang berlarut-larut. Pengembangan EBT dapat dilakukan (dalam jangka waktu 5-10 tahun, red)," terang Rasmus.
Dalam kesempatan itu, Dubes Rasmus juga menyanggah anggapan penggunaan energi terbarukan tidak dapat diandalkan jadi sumber utama energi nasional.
"Buat saya, mitos itu tidak tepat karena saat ini Denmark menjadi salah satu negara dengan tingkat ketahanan energi yang cukup tinggi di dunia," ujar Dubes Rasmus.
Menurut dia, peralihan penggunaan energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan tidak akan merusak tata kelola energi nasional. "Problemnya lebih ke masalah tata kelola," tambah dia.
Terakhir, Dubes Rasmus juga menyanggah anggapan biaya pengembangan energi terbarukan mahal. "Anggapan mahal itu tidak terbukti karena saat ini banyak teknologi yang tersedia untuk pengembangan energi terbarukan. Situasinya jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, saat ini jauh lebih murah, setidaknya dalam waktu 10 tahun terakhir," jelas Dubes Rasmus.
Menurut dia, ada tiga faktor yang membantu menurunkan biaya pengembangan energi terbarukan, di antaranya ketersediaan teknologi, kompetisi antarpemasok di pasar, serta skala bisnis. Menurut dia, jika pengembangan energi terbarukan dilakukan secara masif atau pada tingkatan industri maka ongkos produksi dapat ditekan. Sebaliknya, apabila pengembangan energi terbarukan dilakukan dalam skala kecil, misalnya berbasis komunitas, maka biaya produksi pun akan sulit ditekan.
Baca juga: Selandia Baru mendukung pengembangan energi terbarukan di Maluku
Baca juga: Trinitan segera dukung EBT susul lepas saham anak usaha
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020