Jakarta (ANTARA News) - Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengusulkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani agar tunggakan royalti batubara diselesaikan melalui mekanisme kompensasi atau dihitung selisihnya.

Purnomo saat raker dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Senin mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan surat No 0351/07/MEM.B/2009 tertanggal 22 Januari 2009 mengenai penyelesaian kompensasi tersebut.

"Kami usulkan penyelesaian kompensasi sesuai alternatif kedua yang diusulkan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)," katanya.

Menurut dia, alternatif kedua adalah yang paling memungkinkan dilaksanakan karena ada kesetaraan dan tidak ada lagi resistensi dari pihak lain.

BPKP telah menyerahkan laporan hasil audit kontraktor pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) generasi pertama tahun 2001-2007 kepada Menkeu dan Menteri ESDM melalui surat No SR-1438/K/D1/2008 tertanggal 23 Desember 2008 dengan mengusulkan dua alternatif penyelesaian.

Alternatif pertama, mengenakan denda terhadap saldo dana hasil penjualan batubara (DHPB) yang ditahan kontraktor sebesar 132,628 juta dolar AS dan Rp695,649 miliar, sehingga total kewajiban DHPB yang harus ditagih pemerintah sebesar 735,85 juta dolar AS dan Rp2,345 triliun.

Dengan alternatif pertama, hak pemerintah atas DHPB dan ditambah pajak penjualan (PPn) menjadi sebesar 744,943 juta dolar AS dan Rp2,846 triliun, sedangkan kewajiban pemerintah atas pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp7,181 triliun.

Sedangkan, alternatif kedua adalah melakukan kompensasi atas kewajiban DHPB dengan PPN yang telah dilakukan keenam kontraktor PKP2B generasi pertama.

Jika jumlah DHBP yang ditahan melebihi PPN, maka DHPB yang harus disetor adalah sebesar kelebihan DHPB yang ditahan ditambah dengan dendanya.

Secara keseluruhan jumlah hak pemerintah bersih termasuk PPn adalah Rp688,597 miliar.

Direktur Pengusahaan Mineral dan Batubara Departemen ESDM Bambang Gatot Ariyono menambahkan, jumlah hak pemerintah bersih dengan menggunakan alternatif pertama dan kedua tidak berbeda.

Namun, kontraktor akan lebih senang jika memakai alternatif kedua. "Kalau pakai alternatif pertama repot," katanya.

Bambang menambahkan, hasil audit BPKP yang berupa dolar AS masih memakai kurs lama.

Sebanyak enam kontraktor PKP2B yang menunggak pembayaran DHPB adalah PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Kendilo Coal Indonesia, dan PT Berau Coal.  (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009