Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kehutanan MS Kaban menegaskan Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar akibat perdagangan tumbuhan dan satwa liar secara ilegal baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi konservasi.

"Indonesia yang merupakan produsen utama produk fauna sering mengalami kerugian, baik dari sisi kehilangan sumberdaya alam dan dari sisi ekonomi yang disebabkan oleh penyelundupan dan pemutihan (wildlife laundering)," kata Menhut saat Membuka Bhakti Sosial Snake Hunter Club di Jakarta, Senin.

Menhut menyatakan sulit untuk menghitung nilai kerugian ekonomi secara pasti sebab nilai tumbuhan dan satwa liar bervariasi. Namun, dia menekankan, kerugian ekonomi tidak sebanding dengan kerugian akibat kehilangan keanekaragaman hayati.

Sebagai gambaran, berdasarkan data Statistik Departemen kehutanan, Indonesia hingga semester pertama 2008 berhasil mengantongi devisa hingga 86,9 juta dolar dari perdagangan tumbuhan dan satwa liar.

Dia menyebut beberapa kasus penyelundupan satwa ilegal yang belakangan ramai terungkap seperti perdagangan bagian-bagian tubuh trenggiling, penyu, dan harimau Sumatera.

"Jenis-jenis tersebut diburu untuk tujuan pemeliharaan. Ornamen dan obat-obatan tradisional dengan negara tujuan umumnya adalah Asia timur," kata Kaban.

Kaban mengingatkan, menyatakan penyelundupan tumbuhan dan satwa liar melibatkan jaringan internasional. Itu sebabnya permasalahan kejahatan tersebut harus ditangani secara bersama-sama baik secara regional dan internasional.

Indonesia sebagai negara juga sudah mengikat kerjasama untuk memberantas perdagangan tumbuhan dan satwa ilegal dengan membentuk "ASEAN Wildlife Enforcement Network".

"Dengan kerjasama itu, kita mendapat keuntungan karena kita dan sembilan negara ASEAN lainnya secara bersam-sam menangani masalah perdagangan ilegal jenis-jenis flora dan fauna," kata Kaban.

Dia menegaskan, pemerintah juga sangat berkomitmen kalau pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar harus berkelanjutan dan memegang prinsip menghindari bahaya kepunahan serta menghindari penurunan potensi populasinya.

Untuk itu, Indonesia telah menjadi anggota Konvensi mengenai Perdagangan Flora dan Fauna yang terancam punah (CITES) sejak 1978. "Jadi perdagangan tumbuhan dan satwa liar harus mengikuti ketentuan CITES, yaitu perdagangan tumbuhan dan satwa liar tidak boleh berdampak negatif terhadap populasinya di alam," katanya.

Sementara itu, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dephut, Darori menambahkan, mengikuti ketentuan CITES maka perdagangan satwa liar hanya boleh dilakukan untuk hasil penangkaran.

Selain itu, untuk menekan peredaran produk satwa liar sekaligus meningkatkan nilai ekonominya, Dephut mengambil kebijakan kalau produk satwa liar yang boleh diekspor adalah produk dalam bentuk olahan. "Tidak boleh barang setengah jadi," kata dia. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009