Yogyakarta (ANTARA News) - Fenomena ijazah palsu ditengarai semakin marak setiap kali menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), karena untuk memenuhi persyaratan maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) maupun calon kepala daerah atau demi gengsi.
"Pemilu dan Pilkada yang langsung dan bebas membuka sekian banyak posisi politik, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif," kata Wakil Ketua Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Hari Dendi di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, para calon merasa malu jika hanya bermodalkan ijazah SLTA, apalagi SLTP, sehingga ijazah palsu SLTA dan S-1 pun laku keras.
Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik di pusat maupun daerah sebenarnya menemukan cukup banyak kasus ijazah palsu. Namun, hanya ada satu dua kasus ijazah palsu yang sampai ke meja hijau.
"Sungguh tidak bisa dimengerti apa sebab kepolisian tidak memiliki kesungguhan untuk menindak kejahatan ijazah palsu. Kalaupun disidik, lama kelamaan kasusnya menguap begitu saja," katanya.
Ia mengatakan, apabila pemilik ijazah palsu itu adalah seorang calon wakil rakyat atau calon pemimpin rakyat, secara moral penipuan publik menjadi lebih intensif lagi, karena penipuan dilakukan untuk memperoleh jabatan atau kedudukan yang semestinya berfungsi untuk memberikan pengabdian kepada rakyat.
"Itulah sebabnya, caleg atau calon kepala daerah yang menggunakan ijazah palsu, jika terbukti, semestinya dihukum seberat-beratnya karena niat untuk menipu dan mengkhianati rakyat sudah terang-benderang sejak awal, dan dimasukkan sebagai calon busuk," katanya.
Menurut dia, ada orang yang nekad mengejar ijazah palsu, karena ijazah telah menjadi persyaratan formal untuk berbagai keperluan seperti mencari pekerjaan, menjadi caleg atau calon kepala daerah, dan naik pangkat.
"Lebih dari itu, dalam masyarakat kita ijazah dan gelar bermanfaat sebagai simbol status sosial. Orang dihargai atau disapa menurut tingkat ijazah atau gelar akademiknya. Nilai-nilai yang sebetulnya dilambangkan oleh ijazah dan gelar itu terabaikan," katanya.
Kualitas pengetahuan pun tidak dianggap penting, karena simbol-simbol pengetahuan telah menjadi komoditas yang diperjual-belikan. Hidup menjadi dangkal saja, kosong nilai, dan hanya bergerak di lapisan periferal.
Pada posisi itu, menurut dia, jabatan publik dan kekuasaan dengan mudah tergelincir menjadi kesempatan memperkaya diri. Kepentingan umum dan pengabdian rakyat tetaplah impian yang kosong.
Dengan demikian, fenomena ijazah palsu hanyalah sepenggal kisah tentang absurditas, pendangkalan makna hidup, dan kekosongan nilai.
"Sadar atau tidak, kita sementara ini dikemudikan oleh kultur zaman dengan kecenderungan pendangkalan tersebut. Dalam konteks Indonesia, pendangkalan hidup itu bisa berarti ijazah dikejar dengan menghalalkan cara apapun, demi tuntutan formalitas dan gengsi sosial," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009