saya ditugasi bapak melihat titik yang ditandai tempat ikan berkumpul untuk dibom
Jakarta (ANTARA) - Pada awal 2000-an, di Desa Kulati yang terletak di Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara merupakan kawasan yang hampir setiap harinya terdengar dentuman bom.
Biasanya, dentuman bom identik terdengar di daratan sebagaimana banyak terjadi di negara-negara timur tengah akibat perang berkepanjangan. Namun, di Desa Kulati yang merupakan kawasan Taman Nasional, bom malah berdentum keras di lautan bebas. Ya, hampir setiap hari masyarakat di sana mengebom ikan untuk sekadar menyambung hidup.
Pemuda ini bernama lengkap Nyong Tomia dari Desa Kulati. Sedari kecil, ia telah diajarkan bagaimana cara mengebom ikan, mulai dari merakit hingga melakukan kegiatan ilegal itu secara mandiri di laut bebas. Tidak tanggung-tanggung, ia baru duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar (SD) waktu itu.
Masa dimana seharusnya anak seusianya menikmati aneka permainan tradisional. Namun tidak dengan Nyong, panggilan akrabnya. Ia mesti ikut ke laut lepas bersama almarhum ayahnya, La Amiru untuk menangkap ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan.
Sebelum mengebom ikan-ikan di laut Wakatobi, Nyong bersama orang tua dan dua saudaranya pernah merantau ke Maluku. Namun, kerusuhan yang pecah pada 1999 memaksa keluarga La Amiru meninggalkan daerah itu sebab situasi kian mencekam.
Sambil melipat kaki seakan mengingat kejadian menegangkan itu, Nyong melanjutkan kisah perjalanannya bersama keluarga hingga dapat selamat dari maut. Untuk meninggalkan Maluku bukanlah perkara mudah. Ia dan keluarga harus menunggu satu-satunya kapal yang hendak berlayar ke Pulau Tomia. Sebenarnya ada kapal penumpang yang terus bersandar di Seram, namun karena situasi mencekam, keluarga La Amiru tidak berani menuju ke sana dengan alasan keselamatan.
Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya rombongan yang terdiri atas beberapa kepala keluarga saat itu mendapatkan tumpangan kapal yang hendak menuju Pulau Tomia. Dalam benak La Amiru dan rombongan kala itu singkat saja, yakni masalah sudah selesai dan mereka bisa meninggalkan Maluku dengan selamat.
Siapa sangka, nyatanya situasi mencekam di laut lepas malah lebih menegangkan. Selama 15 hari, ia bersama orang-orang yang melarikan diri tersebut terombang ambing di lautan. Tidak hanya itu, persediaan makan dan minum kian menipis dari hari ke hari.
Puncaknya adalah saat rombongan dihempas ombak badai selama empat jam di laut Banda pada tengah malam. Semua orang telah mengucapkan berbagai kalimat sakral agar kapal kayu yang mereka tunggangi tidak tertimpa musibah. Saking ganasnya hempasan ombak lautan yang menerjang kapal, ibu Nyong yakni Wa Siti Kana sampai jatuh pingsan akibat syok.
"Saat mama pingsan, ia bermimpi kalau kita memegang suatu benda berwarna biru, maka kita akan selamat," kata dia sembari mengingat kejadian memilukan itu.
Ternyata saat ibunya siuman dari pingsan, sebuah benda berwarna biru sudah berada di salah satu genggaman tangannya. Sontak saja Wa Siti Kana mengatakan "Kita akan selamat," ujar dia.
Benar saja, setelah empat jam lebih diterjang ombak badai rombongan tersebut tiba di Pulau Tomia yang merupakan salah satu gugusan dari Kepulauan Wakatobi sekitar pukul 01.00 WITA dini hari.
Sesampainya di Pulau Tomia tepatnya Pantai Teetimu, rombongan mendirikan pondok-pondok darurat seadanya. Mendaratnya keluarga La Amiru di pulau tersebut merupakan cerita awal dari desa yang cukup terkenal atas para nelayan yang kerap melakukan pengeboman di Taman Nasional Wakatobi pada awal 2000-an.
Baca juga: DKP NTT ajak semua pihak cegah penyelundupan bahan peledak ikan
Diajak bapak
Sebagai anak nelayan yang tinggal di pinggiran pantai, pada umumnya masyarakat Desa Kulati mengandalkan laut sebagai mata pencarian untuk menyambung hidup. Berangkat dari cerita nenek moyang mereka yang disampaikan ulang oleh Nyong, dahulunya para leluhur menangkap ikan dengan cara ramah lingkungan. Karena, bagi mereka alam seperti orang tua sendiri.
Namun, cerita setelahnya berbeda. Desakan ekonomi yang terus menekan, memaksa nelayan-nelayan di sana mencari cara agar kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Akhirnya, La Amiru bersama tujuh nelayan lain memutuskan untuk menangkap ikan dengan cara mengebom. Mereka berdelapan dikenal masyarakat setempat sebagai cikal bakal pengeboman ikan di laut.
Sebenarnya, sebelum La Amiru tiba di Pulau Tomia, ia sudah cukup mahir merakit bom kala merantau di Maluku. Berbekal pengetahuan itulah, ia mengajarkan kembali sekumpulan orang di desa tersebut.
Pada saat Nyong masih duduk di bangku kelas tiga SD, ia memang sudah sering diajak ke laut untuk mengebom ikan. Hanya saja itu dilakukan untuk sekadar membantu sang ayah."Saya menunggu di perahu kecil sementara bapak menyelam. Setelah itu, saya ditugasi bapak untuk melihat titik yang ditandai tempat ikan-ikan berkumpul untuk dibom," katanya.
Mulai merakit bom
Setahun kemudian, Nyong tidak lagi ikut mengebom dengan ayahnya. Ia lebih sering mengebom ikan dengan teman-teman seusianya. Setelah memiliki bekal merakit bom secara mandiri, pemuda tiga bersaudara itu mulai memberanikan diri mencari peruntungannya sendiri di laut lepas.
Pada dasarnya, ibu Nyong, Wa Siti Kana tidak pernah setuju putranya ikut mengebom ikan. Perasaan khawatir selalu menghantui saat sang anak mengebom ikan di laut lepas. Bahkan, suatu hari Nyong bersama ayahnya mengalami musibah kecil saat merakit bom. Tiba-tiba saja bom yang dirakit dengan menggunakan pupuk sebagai bahan utama itu meletus. Beruntungnya, mereka berdua tidak celaka.
"Mendengar letusan itu ibu datang dan marah-marah. Saking marahnya, ibu bilang kalau mau mati jangan di sini, di luar saja," kenang dia.
Tentu saja, perkataan almarhum ibunya itu merupakan luapan rasa ketakutan akan kehilangan orang yang ia cintai. Meskipun sudah berulang kali ditegur, Nyong tetap gigih apalagi ia mendapat dukungan penuh dari sang ayah untuk merakit bom.
"Saya lebih dekat ke bapak, saya terbiasa ikut bapak makanya ikut mengebom juga," katanya.
Untuk merakit satu buah bom, Nyong membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam saja. Bahan-bahan yang digunakan juga tidak rumit di antaranya pupuk, minyak tanah, botol dan beberapa benda lainnya. Berbekal satu kilogram bahan-bahan tadi, Nyong dapat membuat dua buah bom yang siap diledakkan.
Untuk satu kali mengebom, Nyong bisa mendapatkan hasil tangkapan yang cukup memuaskan. Ikan-ikan tersebut langsung dijual ke desa-desa terpencil di sekitar pulau. Hal itu dilakukan untuk menghindari jejak dari petugas taman nasional yang bisa saja mengamankan tangkapan termasuk mereka.
Pada rentang waktu 2001 hingga 2003 di sekitar laut Pulau Tomia, sekitar enam hingga tujuh kapal nelayan secara membabi buta mengebom ikan setiap harinya. Jarak antara satu nelayan dengan nelayan lainnya pun terbilang dekat yakni sekitar 200 hingga 300 meter saja.
Dahulunya, sebelum masyarakat Desa Kulati menggunakan pupuk sebagai bahan utama pembuatan bom, nelayan di sana sudah menggunakan mesiu dari mortir-mortir peninggalan Perang Dunia kedua yang masih aktif.
Untuk mengambil bubuk mesiu tersebut, masyarakat setempat harus menggergaji kepala mortil. Pemotongan itu biasanya dilakukan nelayan di bibir pantai agar tidak menimbulkan percikan api yang dapat memicu ledakan. Sepanjang sejarah Desa Kulati, sepengetahuan Nyong pernah terjadi satu kali kecelakaan fatal yang berujung pada kematian satu orang nelayan. Ini diakibatkan oleh adanya bom yang hendak dilempar ke laut malah terjatuh di sekitar kapalnya.
Baca juga: Dua pelaku pemboman ikan ditangkap di perairan Masra Supiori
Sadar
Pada dasarnya masyarakat di Desa Kulati sadar betul bahwa perbuatan yang mereka lakukan salah. Namun, desakan ekonomi dari hari ke hari memaksa mereka mengebom ikan dengan cara tidak ramah lingkungan tersebut. Aktivitas ilegal mereka juga telah lama diintai dan dicurigai petugas Taman Nasional Wakatobi.
Pada 2004, La Amiru diamankan oleh petugas Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Tiga karena aktivitas mengebom ikan. Selama empat hari, bapak tiga anak itu harus menjalani masa karantina.
Peristiwa itu merupakan titik balik dari keluarga La Amiru dan masyarakat setempat. Mereka menghentikan penangkapan ikan dengan cara mengebom. Meskipun memang pada awal-awal kejadian itu masih ada sejumlah nelayan nakal dan tetap melakukan tindakan ilegal itu. Namun tidak dengan Nyong Tomia, ia berhenti total.
"Bapak dikarantina empat hari. Itulah momentum saya tidak lagi mengebom ikan," katanya.
Setelah menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Nyong pergi berdagang ke Tanah Jawa dan Papua. Sejatinya, ia ingin sekali melanjutkan studi namun kondisi ekonomi yang sulit memaksanya menunda mimpi tersebut.
Seiring dengan berjalannya waktu, pada 2013 Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) yang pada saat itu bernama The Nature Conservancy (TNC) mencoba menggandeng Nyong Tomia sebagai mitra dalam menyelamatkan lingkungan.
"2013 TNC mulai melakukan penyadartahuan kalau ada potensi yang lebih baik lagi selain menjadi nelayan," ujar Sekretaris Desa Kulati itu.
Secara perlahan namun pasti, Nyong bersama masyarakat setempat dan dibantu YKAN mulai memulihkan kondisi lingkungan yang rusak akibat bom tadi. Beragam cara dilakukan mulai dari transplantasi terumbu karang, edukasi tentang sampah dan sebagainya.
Perjalanan panjang Nyong dari bocah kecil pengebom ikan kini menjadi sosok inspiratif di Kabupaten Wakatobi. Bahkan, saat ini ia merupakan ketua kelompok sadar wisata yang diberi nama "Poassa Nuhada" dengan makna satu kemauan.
Kini, ia bersama sejumlah tetua adat dan pemuda setempat bertekad penuh menjaga alam Taman Nasional Wakatobi. Bahkan, secara berkala mereka mengumpulkan sampah-sampah kiriman yang terdampar di pesisir Pantai Huntete. Sampah plastik tersebut diklasifikasikan yang kemudian akan dijadikan ecobrick hingga paving block.
Baca juga: 10 nelayan pengebom ikan di Flores Timur masih diperiksa Lanal Maumere
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020