Bojonegoro (ANTARA News) - Warga di daerah genangan banjir Bengawan (sungai) Solo di daerah hilir Bojonegoro, Tuban dan Lamongan, Jawa Timur, sudah lama meninggalkan perahu.
Padahal, perahu merupakan kelengkapan hidup sehari-hari untuk menyelamatkan diri ketika banjir datang di musim hujan, apalagi daerah hilir sungai terpanjang di Pulau Jawa itu "langganan" banjir.
"Sekitar 10 tahun yang lalu, kami pernah membuat desain perahu untuk mengungsi bagi warga korban banjir Bengawan Solo," kata Sekretaris Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Bojonegoro, Sukohawidodo.
Bahan dari perahu yang didesain itu dari bambu, karena mudah didapat di sepanjang Bengawan Solo di Bojonegoro. Mereka menyebutnya sebagai perahu tembo.
Ukurannya pun ada yang besar dan ada pula yang kecil, tapi biasa dimanfaatkan untuk menyelamatkan keluarga atau kerabatnya ketika banjir datang
Perahu tembo yang dulunya terbuat kayu jati itu berfungsi sebagai sarana transportasi sehari-hari untuk bepergian, mencari ikan, mencari pasir, atau untuk keperluan lainnya.
Seiring berkembangnya jaman, dengan semakin mudahnya transportasi darat, maka perahu warga di daerah genangan banjir tersebut akhirnya rusak atau dijual, karena dianggap sudah tidak dibutuhkan lagi.
Tetapi, banjir Bengawan Solo, masih belum juga bisa dikendalikan, akibatnya ketika luapan banjir Bengawan Solo terjadi pada ketinggian tertentu, maka warga di genangan banjir tetap harus mengungsi.
Sukohawidodo memberikan contoh, di Desa Mojo, Kecamatan Kalitidu, yang menjadi binaan PMI Bojonegoro dalam menghadapi bencana banjir Bengawan Solo, terlihat warga setempat sangat minim yang memiliki perahu tembo.
Karena itu, PMI menyarankan warga memiliki perahu dengan bahan bambu yang bisa dimanfaatkan untuk mengungsi, ketika banjir Bengawan Solo datang.
Ia menuturkan perahu untuk mengungsi dengan bahan bambu yang didesain anggota PMI Bojonegoro itu pernah dipresentasikan di hadapan warga setempat, pejabat PMI Pusat, dan pejabat Palang Merah Inggris.
Perahu bambu tersebut, pada musim kemarau bisa berubah fungsi menjadi pagar atau bisa dilipat untuk tempat tidur.
"Kalau bahan bambunya dipilih yang bagus, perahu bambu tersebut bisa tahan bertahun-tahun," ungkapnya.
Namun, gagasan membuat perahu bambu tersebut belum sempat direalisasikan, sehingga ketika banjir Bengawan Solo membesar masih sama saja kondisinya, warga tetap harus mengungsi dan hanya mengandalkan tim penolong Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) atau penyelamat lainnya dengan terbatasnya perahu karet.
Tembo Lamongan
Data di Satlak PBP Bojonegoro untuk banjir pada awal Februari 2009, ketinggian air Bengawan Solo pada papan duga di Bojonegoro berkisar 15 meter (siaga III), sehingga genangan air banjir merendam 116 desa yang tersebar di 15 kecamatan dengan jumlah korban 10.239 KK (40.298 jiwa), di antaranya 1.331 jiwa terpaksa harus mengungsi.
Sementara itu, perahu karet yang dimiliki PMI dan Satlak PBP juga hanya sebatas untuk penyelamatan warga korban banjir dalam kondisi kritis.
"Perahu karet yang ada bukan untuk mengungsikan warga, sebab jumlah pengungsi bisa mencapai ribuan jiwa, dibandingkan kapasitas perahu karet yang sekali angkut hanya untuk maksimal 10 orang," kata Sukohawidodo.
Minimnya sarana perahu karet, dibenarkan Komandan Satlak PBP Bojonegoro, Pudjiono. Menurut dia, empat buah perahu yang ada itu tidak mungkin bisa menjangkau warga korban banjir di Bojonegoro yang harus mengungsi.
Tetapi, katanya, pada tahun 2009, pihaknya mengajukan usulan untuk menambah dua unit perahu karet kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Ketika terjadi banjir Bengawan Solo yang baru saja surut, Camat Kalitidu, Nurul Azizah, sempat mengeluhkan minimnya sarana untuk menyelamatkan warga di wilayahnya untuk mengungsi.
Ketika itu, Nurul yang ikut tim Satlak PBP Kecamatan, hanya memanfaatkan satu unit perahu karet untuk mengungsikan warga di Desa Mojo, Kecamatan Kalitidu.
Padahal, di wilayah itu ada 400 KK warga yang layak diungsikan. "Ya, hanya anak-anak dan orang tua yang diungsikan," katanya, lirih.
Lain Bojonegoro, lain pula kebiasaan warga di daerah genangan banjir di Lamongan.
Warga Desa Gelap, Kecamatan Laren, Lamongan, Moch Rochib (35), memaparkan banjir Bengawan Solo bagi warga di desanya sudah menjadi bagian hidup warga setempat.
"Sebelum tahun 2.000, dibangun sidatan di Sedayu Lawas ke laut Jawa, genangan banjir Bengawan Solo bisa berlangsung dua bulan. Itu pun ketinggian airnya bisa mencapai satu atap rumah, tapi hampir semua warga setempat memiliki perahu tembo kecil atau besar yang dimanfaatkan sebagai sarana transportasi sehari-hari," katanya.
Setiap banjir datang, Rochib dengan keluarganya mencari kayu jati panjang yang dimanfaatkan untuk tiang tempat tidur yang dikondisikan bisa naik turun mengikuti ketingian air banjir. Sementara itu, bagian depan atap rumah berfungsi sebagai pintu keluar masuk perahu.
"Selama dua bulan keluarga kami mencari ikan, untuk menyambung hidup sehari-hari," katanya.
Tetapi, lanjutnya, dengan rampungnya sidatan di Sedayu Lawas sepanjang 13,5 km yang mampu mengalirkan debit banjir Bengawan Solo ke laut Jawa, maka genangan banjir setinggi atap rumah sudah tidak pernah terjadi.
Solusi Sidatan
Namun, banjir Bengawan Solo di wilayah Lamongan masih saja terjadi, sebagaimana banjir besar yang pernah melanda daerah hilir pada akhir 2008, tetapi tidak setinggi sebelum adanya sidatan itu.
Akibat minimnya kepemilikan perahu itu, sebagaimana dituturkan Suko, beban melakukan pengungsian warga korban banjir Bengawan Solo seolah-olah menjadi tanggung jawab Satlak PBP dan tim penanggulangan bencana lainnya.
"Sebenarnya naik turunnya banjir Bengawan Solo warga tahu, tetapi kalau belum tinggi sekali ya mereka belum mau mengungsi," katanya.
Begitu masuk musim hujan sekarang, PMI Cabang Bojonegoro memasang spanduk besar dengan tulisan, "Ayo Siaga Banjir."
"Maksud saya siaga banjir itu untuk semuanya, termasuk masyarakat korban banjir, tidak hanya untuk tim penyelamat," katanya.
Yang jelas, dengan kejadian banjir Bengawan Solo akhir 2008 dan awal 2009, berbagai pihak mulai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro (Jawa Timur), Pemkab Wonogiri (Jawa Tengah), Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo di Solo, juga pihak lainnya menjadi lebih serius berupaya menanggulangi banjir.
Ancaman yang paling mengkhawatirkan adalah banjir besar bisa terjadi setiap musim hujan, akibat rusaknya daerah tangkapan air sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, mulai hulu, Jawa Tengah, hingga di daerah hilir, Jawa Timur.
"Iklim juga sudah tidak mendukung, seringkali hujan yang turun ekstrim, seperti banjir sekarang ini, akibat curah hujan dari lereng gunung Lawu mencapai 300 mm," kata Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo di Solo, Graita Soetadi, ketika mengunjungi daerah bencana banjir di Bojonegoro.
Menurut dia, penanggulangan banjir Bengawan Solo yang paling tuntas dengan membangun waduk Jipang mustahil bisa direalisasikan, karena akan menghadapi masalah sosial yang berat, selain faktor pengendalian biaya.
Merealisasikan Waduk Jipang, di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, harus memindahkan warga di Kecamatan Ngraho dan Cepu, termasuk membebaskan sebuah lapangan terbang di Kapuan, Cepu.
Konsep temuan terbaru penanggulangan banjir Bengawan Solo di daerah hilir, mulai Bojonegoro, Tuban, Lamongan dan Gresik yakni memperbesar aliran debit sidatan Sedayu Lawas yang semula sebesar 600 meter kubik per detik, menjadi 1.000 meter kubik per detik.
"Dengan adanya peningkatan sidatan itu, debit banjir bisa dengan cepat dialirkan ke laut Jawa, selain lewat jalur sungai lama di Sembayat, Gresik. Konsep itu sekarang mulai dimatangkan," kata Koordiator Pengamanan dan Pengendalian Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Bengawan Solo di Bojonegoro, Muljono.
Solusi lainnya, merealisasikan waduk retensi Rawa Jabung, di Lamongan yang berfungsi menampung air banjir Bengawan Solo dan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air baku ketika musim kemarau.
Solusi lain lagi, pemukiman warga di daerah genangan banjir abadi dipindahkan dan lokasi itu dijadikan ring banjir, tetapi bisa berfungsi sebagai areal pertanian ketika musim kemarau, sebab program membangun tanggul kanan dan kiri Bengawan Solo, bisa memunculkan permasalahan baru ketika Bengawan Solo meluap.
(*)
Oleh Oleh Slamet Agus Sudarmojo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009