Jakarta (ANTARA News) - Partai Golkar hendaknya bersikap dan bertindak lebih bijak dalam memilih calon presiden yang akan diajukan pada pemilihan presiden RI mendatang.
"Kita perlu ingatkan, yang memilih presiden itu bukan 33 ketua DPD Golkar, tapi rakyat desa, kota yang berbeda suku, agama dan tingkat kesejahteraannya. Sementara itu kita juga masih dipengaruhi unsur budaya, primordialisme dan terakhir politik uang," kata politisi senior Golkar Pinantun Hutasoit di Jakarta, Jum`at (20/2).
Ia juga mengingatkan, sekarang ini bukan lagi era mobilisasi. "Apakah DPD Golkar bisa menjamin memilih tokoh yang dicalonkan bebas dari pengaruh politik uang."
"Yang jelas, berdasarkan karsa politik, yang menjadi pemimpin sekarang haruslah pemimpin yang mampu mendengar sebelum berbicara, sehingga sang pemimpin tidak asal bicara dalam mewujudkan cita-cita bangsa," katanya.
Menanggapi pernyataan-pernyataan yang muncul di DPP Golkar belakangan, Pinantun menyatakan, ia tak pernah percaya kepada hasil-hasil survei yang ada.
"Kalau di negara yang sudah mapan, hasil survei bisa mencerminkan kebenaran. Tapi kita masih banyak dipengaruhi oleh budaya, primordial, dan money politic. Apakah Lembaga Survei Indonesia (LSI) mampu mengakomodasikan pengaruh politik uang?," ujarnya.
Ia menganjurkan, sekembali para ketua DPD Golkar ke daerah masing-masing, "ajak semua tokoh di daerahnya untuk membicarakan siapa yang pantas diajukan Golkar sebagai capres, yang bisa diterima di desa maupun di kota."
Saat ini, yang diperlukan Golkar adalah mencari pemimpin yang bijak, tak terpengaruh politik uang, yang mampu menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, seperti yang dikatakan penasehat Golkar Suryo Paloh.
"Jangan ada politik yang menjilat, yang mengabaikan kepentingan nasional untuk kepentingan diri sendiri."
Pinantun Hutasoit menyatakan keyakinannya, kader Golkar dari unsur MKGR tidak akan bersikap seperti itu, karena sejak awal mereka dilatih untuk mandiri, berpikir jernih dan memusatkan perjuangannya demi kepentingan bangsa dan negara. (*)
Editor: Guntur Mulyo W
Copyright © ANTARA 2009