Hal itu dilakukan BKSDA Sultra saat menggelar sosialisasi penanganan konflik satwa liar dan manusia di Kendari, Selasa (3/3).
Kepala BKSDA Sultra, Sakrianto Djawie mengatakan bahwa penanganan konflik antara manusia dan satwa liar seperti buaya harus dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah ataupun masyarakat.
Baca juga: Gajah terkena jerat di Aceh Timur dievakuasi tim BKSDA-FKL
"Salah satu langkah penanganan konflik manusia dan buaya adalah dengan melakukan pemetaan lokasi habitat buaya sebagai bahan usulan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)," kata Sakrianto.
Selain itu, kata dia, melakukan kajian populasi buaya di Sultra bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kemudian melaksanakan sosialisasi pencegahan konflik manusia dan satwa ke desa-desa yang rawan konflik.
"Selanjutnya, melakukan koordinasi ke pihak-pihak terkait serta akan mengapresiasi apabila ada masyarakat atau badan usaha yang bersedia mengurus penangkaran buaya," ungkapnya.
Baca juga: BKSDA: Donasi selamatkan buaya berkalung ban inisiatif Matt Wright
Sosialisasi konflik manusia dan satwa liar itu diikuti oleh tiga camat dari Kabupaten Konawe Utara, tiga camat dari Kabupaten Konawe Selatan, Kapolsek Wiwirano, Kapolsek Asera, Kapolsek Kolono, serta beberapa kepala desa seperti Kepala Desa Landiwo, Pusuli, Awunio, dan lainnya serta pihak BKSDA Sultra.
Untuk diketahui, pada tanggal 9 Februari 2020, Tim Rescue Basarnas Kendari bersama tim gabungan berhasil mengevakuasi seorang remaja Afdal (15) dalam keadaan meninggal setelah dilaporkan hilang diterkam buaya di sungai Desa Aunio, Kecamatan Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Baca juga: Buaya dua meter di Aceh Jaya berhasil ditangkap petugas BKSDA
Baca juga: BKSDA Kalteng perkirakan Desa Mentaren terdapat habitat buaya
Baca juga: Cagar Alam Muara Kendawangan perlu dikelola kolaboratif, sebut BKSDA
Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020