"Pemberian suretyship oleh perusahaan asuransi umum masih diperlukan untuk menjamin proyek pembangunan nasional bersama dengan perusahaan penjaminan," tutur Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa.
Baca juga: OJK: pengaduan klaim asuransi terbanyak terkait "suretyship"
Dalam pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian itu, ia mengatakan terdapat juga Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05 Tahun 2016 yang secara tegas mengatur suretyship adalah lini usaha asuransi umum.
Sementara Undang-Undang Penjaminan mengatur pihak di luar lembaga penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan agar menyesuaikan dengan Undang-Undang Penjaminan.
"Ketentuan Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Penjaminan dari sudut pandang Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian justru merupakan landasan hukum berlakunya penyelenggaraan usaha suretyship yang merupakan penyelenggaraan penjaminan oleh lembaga asuransi umum," kata Tio Serepina.
Hingga 30 November 2019, disebutnya usaha asuransi kredit dan suretyship telah dilakukan 40 perusahaan asuransi umum dengan pendapatan premi yang diterima sebesar Rp13,88 triliun atau 20,66 persen dari total pendapatan premi dalam skala nasional.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, pada 2018, total nilai penjaminan atas produk suretyship oleh perusahaan asuransi umum sebesar Rp142,9 triliun.
Kontribusi perusahaan asuransi terhadap produk suretyship itu, dikatakannya menunjukkan terdapat kebutuhan pelaku ekonomi atas pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi.
Pengujian undang-undang itu diajukan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yang merasa terancam tidak dapat melaksanakan lini usaha suretyship.
Baca juga: Gugat ke MK, asosiasi asuransi terancam tak bisa bisnis suretyship
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020