Dede menjelaskan pengaruh ini masih sangat kuat sehingga parpol maupun caleg yang menggunakan cara pendekatan primordialisme dipastikan mampu meraih suara jika mengacu pada hasil penelitian saat Pemilu 2004 lalu.
"Kekerabatan ini sangat mempengaruhi perilaku pemilih sehingga memungkinkan seseorang yang telah menentukan pilihan mampu mengubahnya dengan alasan kedekatan secara primordial," katanya.
Faktor lain yang mempengaruhi perilaku pemilih setelah primordialisme adalah ideologi, program, transaksional, "peer group", referensi, ikatan emosional dan pilihan rasional.
"Untuk transaksional seringkali hanya berdasarkan atas untung rugi secara ekonomi sehingga mengalahkan pilihan rasional yang tersedia," katanya.
Berbicara perilaku pemilih, lanjut Dede, sangat mempengaruhi jumlah partisipasi pemilih sehingga diharapkan untuk melakukan pendidikan politik oleh seluruh pihak khususnya parpol kepada masyarakat.
"Jika pendidikan politik tidak dilakukan maka perilaku masyarakat ini tidak akan pernah menyentuh pada pemikiran-pemikiran rasional untuk menentukan pilihannya dalam Pemilu," katanya.
Sementara itu Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar, Ferry Kurnia menyatakan faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih di Indonesia adalah masalah administrasi dan teknis yang dilakukan penyelenggara.
"Berdasarkan beberapa survei diperoleh hasil yang merujuk pada dua kesimpulan tersebut dan bukan masalah keapatisan masyarakat terhadap parpol atau Pemilu," katanya.
Untuk itu sebagai penyelenggara Pemilu, pihaknya berusaha untuk melakukan berbagai penyusunan administrasi dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sehingga tidak timbul adanya penurunan prosentasi partisipasi pemilih.
"Jika masalah administrasi dan teknis ini telah diantisipasi dan dicari jalan keluarnya maka saya yakin partisipasi pemilih akan meningkat," tegasnya.
Ferry menuturkan beberapa rujukan yang dihimpunnya menyatakan masalah tekhnis dan administrasi sangat mempengaruhi partisipasi pemilih. "Berdasarkan data sejak Pemilu 1955 hingga 2004 terjadi tren penurunan partisipasi pemilih," katanya.
Tahun 1955 prosentase pemilih yang tidak menggunakan haknya sebesar 8,59 persen, 1971 (3,39 persen), 1977 (3,48 persen), 1982 (3,53 persen), 1987 (3,57 persen), 1992 (3,94 persen), 1997 (6,45 persen),1999 (7,26 persen), 2004 (15,93 persen) untuk Pileg dan 21,48 persen bagi putaran pertama Pilpres 2004 dan putaran kedua 23,34 persen.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009