"Banyak perusahaan yang memegang HPH, misalnya di Sumbar setelah habis masanya tak ditanam kembali bibit kayu pada kawasan yang ditebang tersebut. Meski ada sebagian ditanami hanya bagian pinggiran saja sekitar 200 dari jalan, dan bagian tengahnya dibiarkan gundul," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Khalid Syaifullah, di Padang, Kamis.
Menurut dia, kalau pengawasan ketat terdahap kawasan yang sudah dibabat oleh pemegang HPH, tentu penataan kawasan hutan semakin baik dan ketersedian kayu untuk kebutuhan pembangunan tidak sulit.
Sebab, aksi eksploitasi terhadap hutan sudah berlangsung sejak tahun 1960-an, bahkan sebelumnya juga sudah ada.
Jika, penataannya baik dalam artian ditanam kembali jenis kayu sejenis atau lainnya di kawasan HPH itu, dengan rentang waktu hampir 48 tahun, tentu sudah bisa dipanen atau dimanfaatkan lagi saat ini.
Namun, malah sebaliknya yang terjadi perusahaan pemegang HPH tidak menjalankan sesuai ketentuan dan lemahnya pengawasan dari pemeritah yang dilegasikan ke instansi terkait.
"Pemeritah hanya bisa mengeluarkan izin eskploitasi hutan saja pada perusahaan pemegang HPH, tapi pengawasannya untuk perbaikan kawasan hutan masih lemah," katanya.
Padahal yang terpenting itu, tambahnya, harus jelas pemeliharaan dan penataan kawasan hutan yang sudah diserahkan pada HPH itu, selaian menyelamatkan hutan, juga untuk ketersedian bahan bagu kayu untuk kebutuhan pembangunan.
Menyinggung perlunya pemerintah mengeluarkan kebijakan bahan baku pembangunan dari kayu ke besi, Khalid menilai, belum tepat karena bahan alternatif ini, juga akan berdampak terhadap lingkungan.
Terkait, jika besi dijadikan bahan utama bangunan yang bahan bakunya biji besi, sedangkan ketersedian terbatas dan akan menimbulkan eksploitasi bahan tambang.
"Soal bahan baku bangunan tak masalah kayu, tetapi pemerintah harus jelas kebutuhan dalam rencana tahunan," ujarnya.
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009