Jakarta (ANTARA News) - Indonesia hendaknya tidak berharap banyak dari kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton dan Indonesia harus berani menolak liberalisasi perdagangan dan kapitalisme yang ternyata telah menyebabkan negara Paman Sam itu mengalami krisis finansial. Demikian benang merah dari dialog resensi buku "Living History Hillary Rodham Clinton" untuk menyambut kunjungan dua-hari Menlu Hillary ke Indonesia yang diselenggarakan Lembaga Studi Kapasitas Nasional (INCS) di Jakarta, Rabu. Dialog tersebut, yang membahas hubungan Indonesia dan AS dan pengalaman perjuangan Hillary di bidang hak-hak perempuan, hak asasi manusia dan demokrasi rakyat melawan penindasan dan ekploitasi korporasi AS, menghadirkan Hartojo Wignjowijoto, Pendiri dan Ketua (INCS), Nina Sapti, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dengan moderator Sumarjati Arjoso. Sejumlah tokoh seperti Sri Bintang Pamungkas, Joop Ave, Amin Arjoso dan Prof. Usep Ranuwihardja hadir dalam dialog itu. "Indonesia hanya dijadikan keset dalam lawatan Menlu Hillary ke Asia. Sangat disayangkan dalam kunjungannya ini ia dibatasi hanya mengadakan pembicaraan dengan Menlu Hasan (Wirajuda) dan Sekjen ASEAN (Surin Pitsuwan)," kata Hatojo. Ia sependapat dengan padangan bahwa Indonesia dan AS harus menjalin hubungan atas prinsip-prinsip kesejajaran dan keadilan. "Saya setuju dengan peribahasa kita yakni duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Tapi kenyataannya ketika berdiri kakinya tidak ada," ujarnya. Menurut dia, kemandirian bangsa Indonesia harus ditunjukkan dan pemerintah jangan membawa "batok (tempurung kelapa)" untuk meminta-minta bantuan ke mana-mana. Mantan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Joop Ave menceritakan pengalamannya ketika seorang menteri AS berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengannya. "Dengan menggertak Menteri itu meminta sektor telekomunikasi Indonesia agar dibuka," ujarnya. "Jika tak dibuka, ganjarannya AS akan membatasi impor pakaian jadi, tekstil, dan sepatu ke negara itu." "Saya sampaikan langsung kepada dia bahwa ia pecundang dengan mengeluarkan pernyataan itu. Silakan tanya kepada Duta Besar Anda tentang apa makna peribahasa Indonesia duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi," kata Joop Ave, yang kini berusia 72 tahun dan 40 tahun di antaranya dihabiskan sebagai birokrat.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009