Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi I DPR RI, Theo L sambuaga, selaku Koordinator Parliamentarians for Global Action atau PGA Chapter Indonesia di Jakarta, Selasa menegaskan, pihaknya mendukung sepenuhnya pembentukan Pengadilan Kejahatan (Pidana) Internasional (International Criminal Court) berdasarkan Statuta Roma.

Ia mengatakan itu, ketika membuka resmi Working Meeting bertajuk The International Criminal Court (ICC): Toward Indonesia's Accession to the Rome Statute?, di ruang rapat Komisi VIII DPR RI, Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta.

Dalam pertemuan kerja tersebut, sedikitnya delapan tokoh berbagai latar tampil menyampaikan pandangannya, yang terbagi dalam dua sesi.

Pada sesi pertama yang dimoderatori oleh Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Abdillah Toha, tampil sebagai pembicara masing-masing Duta Besar Kanada untuk Indonesia, John Holmes, Melissa Parke (anggota Parlemen dari Australia) dan dua anggota Komisi I DPR RI, yakni Marzuki Darusman (Fraksi Partai Golkar) serta FX Soekarno (Fraksi Partai Demokrat).

Mereka membicarakan topik khusus tentang The Contribution of the International Criminal Court to the Promotion of Universal Human Rights and the Prospective Role of Indonesia.

Sedangkan pada sesi dua, dengan topik Acceding to the Rome Statute: Challenges for the ICC and for the State Parties yang dimoderatori Ketua Komisi III DPR RI, Aziz Syamsuddin (Fraksi Partai Golkar), menampilkan Dirjen HAM Depkumham RI, Harkristuti Harkrisnowo, dan dua anggota DPR RI Djoko Susilo (Fraksi Partai Amanat Nasional) serta Soeripto (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), juga Reny Rawasita Pasariba (PSHK).

Sebelum penutupan yang dilakukan Nursyahbani Katjasungkana (anggota PGA Indonesia), pertemuan itu berhasil mengangkat sejumlah pokok pikiran serta kesimpulan tentang peran Indonesia dalam memantapkan posisi ICC.


Peran Aktif Indonesia

Sementara itu, Theo Sambuaga kepada ANTARA, menjelaskan, Indonesia terlibat secara aktif dalam proses hadirnya ICC, dimulai dengan mengirimkan delegasi formal mengikuti Konferensi Diplomatik di Roma, Juli 1998 (saat Statuta Roma disahkan).

"Pada saat bersejarah itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statuta Roma dan pembentukan Mahkamah Pidana (Kejahatan) Internasional. Dan sejak itu, Indonesia melalui berbagai institusi resmi menyatakan niatnya untuk meratifikasi Statuta Roma," katanya lagi.

Theo Sambuaga menambahkan, pada tahun 1999, Indonesia menyampaikan pernyataan positif kepada Komite ke-6 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam pandangannya mengenai Statuta Roma itu.

Ketika itu, menurutnya, Indonesia menyatakan, partisipasi universial harus menjadi ujung tombak ICC dan Pengadilan (itu) menjadi bentuk hasil kerjasama seluruh bangsa tanpa memandang perbedaan politik, ekonomi, sosial serta budaya.

Dalam pernyataan yang sama, Indonesia juga menyatakan, Statuta Roma menambah arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam PBB. Yakni meliputi persepakatan, imparsialitas, non-diskriminasi, kedaulatan negara dan kesatuan wilayah.

Selanjutnya dalam sebuah materi pertemuan kerja ICC di Jakarta, Selasa (17/2) ini, diungkapkan, pada tahun 2004, Presiden Megawati Sukarnoputri mengesahkan Rencana Aksi Nasional tentang Hak-hak Azasi Manusia (Ranham) 2004-2009.

Rancangan itu menyatakan, Indonesia bermaksud meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008. Dan untuk melaksanakan rancangan tersebut, Presiden RI membentuk sebuah Komite Nasional.

Pemerintah juga menyatakan, Statuta Roma sedang dipelajari dan legislasi nasional perlu dibuat demi keperluan kerjasama Mahkamah sebelum ratifikasi dilaksanakan.


Sudah 108 Negara

Theo Sambuaga lebih lanjut mengatakan, pada bulan Agustus 2006, perwakilan Parlemen Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh Parlemen Asia tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi atau aksesi.

Lalu, pada tahun 2007, didirikanlah ,Parliamentarian for Global Action, (PGA) khusus Indonesia Chapters, yang menurutnya, lembaga ini sangat aktif mendukung unversalitas Mahkaman Pidana Internasional sebagai institutsi justisi permanen, berbeda dengan International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) maupun International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), karena keduanya hanya bersifat ad hoc.

"Mahkamah Pidana Internasional atau ICC ini sendiri didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam Uniterd Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court di kota Roma, Italia," tambahnya.

Statuta Roma tentang ICC itu, lanjutnya, mengatur kewenangan untuk mengadili empat kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional, yakni genosida (the crime of genocide), crimes against humanity, (kejahatan terhadap kemanusiaan), war crimes (kejahtan perang) dan ,the crime of aggression (kejahatan agresi).

"Sesuai informasi terakhir, sejak ditandatangani pertama kali pada 17 Juli 1998 di Roma, maka sampai tanggal 11 April 2002 sudah ada 108 negara yang meratifikasi perjanjian Mahkamah Pidana Internasional, dan selanjutnya telah dijadikan hukum internasional pada tanggal 1 Juli 2002 oleh PBB," ungkap Theo sambuaga lagi.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009