Jakarta, (ANTARA News) - Pengamat perminyakan, Kurtubi menyayangkan merintah tidak menurunkan kembali harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi per 15 Februari 2009.
"Seharusnya pemerintah memanfaatkan harga minyak yang kini di bawah 40 dolar AS per barel, dengan menurunkan harga BBM ke level Rp4.000 per liter atau bahkan Rp3.500 per liter," katanya di Jakarta, Senin.
Hal senada dikemukakan pengamat perminyakan lainnya, Pri Agung Rakhmanto.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu menilai, harga premium bersubsidi memang sebaiknya tetap Rp4.500 per liter, namun solar harusnya menjadi Rp4.000 per liter.
Menurut Kurtubi, saat ini, merupakan kesempatan yang tepat bagi pemerintah menurunkan harga BBM guna meningkatkan daya beli masyarakat, menurunkan biaya produksi dan distribusi, menurunkan inflasi, dan menurunkan suku bunga.
Sehingga, lanjutnya, investasi dan kesempatan kerja bisa meningkat di tengah resesi ekonomi global yang semakin parah.
"Saya sarankan sebaiknya pemerintah dengan cerdas memanfaatkan harga minyak murah untuk mendorong ekonomi dalam negeri," kata Center For Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES).
Ia mengatakan, dengan harga minyak mentah 35 dolar AS per barel, kurs Rp11.000 per dolar AS, maka biaya pokok BBM hanya Rp3.500 per liter.
"Kalau harga premium sekarang Rp4.500 per liter, maka pemerintah untung sekitar Rp6 triliun dalam tiga bulan sejak Desember 2008," katanya.
Kurtubi juga menambahkan, kecil kemungkian harga minyak mentah naik di atas 70 dolar AS per barel tahun 2009 ini, karena pasar minyak yang lemah.
Pemerintah memutuskan harga BBM bersubsidi jenis premium, solar, dan minyak tanah per 15 Februari 2009 tetap sama seperti 15 Januari 2009.
Keputusan yang dikeluarkan Jumat (13/2) malam itu menetapkan harga premium tetap Rp4.500 per liter, solar Rp4.500 per liter, dan minyak tanah Rp2.500 per liter.
Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen ESDM Sutisna Prawira mengatakan, harga BBM itu merupakan hasil evaluasi perkembangan harga minyak mentah di pasar dunia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, APBN, dan kegiatan sektor riil.
Meski, lanjutnya, dalam satu bulan terakhir terjadi kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia dan juga pelemahan nilai tukar rupiah.(*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009