Surabaya (ANTARA News) - Pakar Lingkungan Hidup Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Suparto Wijoyo, SH, M.Hum meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur mengubah paradigma bencana alam. "Jangan hanya berpangku tangan dengan menganggap bencana sebagai tradisi. Ini kerangka berpikir yang salah, bencana itu bukan tradisi, tapi tragedi," katanya di Surabaya, Minggu. Menurut dia, jika bencana dianggap bagian dari tradisi, maka dipastikan pemerintah tidak akan bekerja untuk menanggulangi bencana. "Karena sudah tradisi, maka dana bencana yang dianggarkan dalam APBD hanya untuk penanganan, bukan untuk penanggulangan," katanya. Ia berpendapat, selama pemerintah masih menganggap banjir yang melanda beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo di Jatim sebagai tradisi, maka sampai kapanpun bencana itu akan terus terjadi. "Kalau kami amati, tentu pemerintah lebih senang karena dengan adanya bencana, maka anggaran yang sifatnya darurat dalam APBD bisa segera dicairkan," kata anggota Tim Mediator Kementerian Lingkungan Hidup itu. Padahal tidak demikian seharusnya, kalau pemerintah mengubah paradigma mengenai bencana. "Pemerintah mestinya tahu, meluapnya aliran Bengawan Solo itu bukan semata-mata faktor alam, tapi ada juga faktor teknis yang selama ini diabaikan," katanya. Ia mengungkapkan selama dua tahun terakhir, Pemprov Jatim sudah tidak lagi melakukan revitalisasi Bengawan Solo. "Padahal dalam catatan kami, pada tahun 2007 sedimentasi di Bengawan Solo sudah mencapai 6 meter, lalu pada 2008 meningkat menjadi 10 meter," katanya. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah untuk menanggulangi bencana banjir di DAS Bengawan Solo adalah merealisasikan program revitalisasi. "Kami pikir, kalau dijalankan sungguh-sungguh, program revitalisasi ini lebih efektif dan lebih efisien dalam penggunaan dana dibandingkan dengan penanganan bencana. Hal ini seharusnya menjadi agenda utama Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim yang baru," kata Suparto Wijoyo.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009