Ketika tank terakhir Uni Sovyet meninggalkan perbatasan pada 15 Februari 1989, yang bertepatan dengan hari Sabtu dalam kalender Afghanistan, ribuan pria yang telah 10 tahun memerangi pasukan pendudukan merayakan kemenangan.
"Kami melepaskan tembakan kegembiraan ke udara," Mohamman Soliman, salah seorang mujahidin (pejuang suci) yang melawan Tentara Merah dalam satu pertempuran yang mendapat dukungan diam-diam dari Pakistan dan Amerika, mengenang saat itu.
"Kami mendengar berita dari radio BBC. Sulit dipercaya bahwa tentara Rusia telah pergi, tapi itu benar-benar terjadi," kata Soliman --yang kini berusia 40-an tahun.
"Kami menyaksikan jihad (perang suci) kami dan penderitaan kami dan semua upaya kami membuahkan hasil. Kami sangat gembira," katanya kepada AFP..
Pertempuran akibat serbuang tentara Uni Sovyet menewaskan sebanyak 1,5 juta orang Afghanistan, termasuk warga sipil dan gerilyawan dan 15.000 prajurit Rusia, demikian data resmi.
Sebanyak satu juta orang Afghanistan cacat dan lima juta orang menyelamatkan diri ke negara tetangga, Pakistan dan Iran, sehingga menjadikannya migrasi terbesar saat itu.
Akhir pendudukan tersebut ditandai oleh hari libur resmi di Afghanistan. Dan tahun ini, Kemeneterian Pertahanan mengeluarkan pernyataan yang memuji pengorbanan dan kepahlawanan bangsa Afghanistan, yang telah kehilangan jutaan syahid.
"Ketika tentara Rusia pergi, kami sangat gembira," kata seorang lagi mantan mujahidin, Khoram Del, yang tinggal di provinsi Wardak, di luar Kabul.
"Kami salig memberitahu, 'kita mengalahkan tentara Rusia, kita mengalahkan mereka'. Kami sangat bangga atas itu dan kami berkumpul di desa-desa untuk saling mengucapkan selamat," kata pria berusia 58 tahun itu.
Hama Sakina (70) juga menganggap dirinya sebagai mantan mujahi, karena perempuan tersebut menjalani pekerjaan perlawanan yang pening --yaitu memasak buat pejuang Afghanistan.
"Rakyat kami berperang melawan tentara Rusia demi keyakinan mereka. Hari itu, ketika mereka pergi, kami sangat bahagia," kata perempuan tersebut --yang tinggal di kota Herat, Afghanistan barat.
Namun ia menambahkan, "Ketika tentara Rusia pergi, kami semua mengatakan perang sudah berakhir. Sekarang, anda lihat itu belum selesai."
Sejak tentara Rusia pergi, pertempuran juga berlangsung hampir tak pernah putus.
Setelah penarikan tentara Uni Sovyet dan selanjutnya kekalahan rajim Marxis di Kabul, berbagai faksi mujahidin malah saling gempur. Pergolakan kekuasaan tersebut, dari 1992 sampai 1996, mengubah ibukota negeri itu jadi ajang pertempuran dan menewaskan 50.000 sampai 80.000 orang.
Pertempuran tersebut berakhir saat Taliban mengambil-alih pemerintahan, sampai faksi santri itu digulingkan oleh serbuan pimpinan AS yang meliputi berbagai kelompok perlawanan di Afghanistan.
Sekarang terdapat 70.000 prajurit internasional di Afghanistan, termasuk 37.000 prajurit AS, yang membantu pemerintah rapuh dukungan AS memerangi aksi perlawanan Taliban.
Rakyat Afghanistan kian tidak suka dengan jatuhnya korban jiwa sipil terutama akibat pemboman AS terhadap gerilyawan dan penggeledahan paksa rumah warga oleh tentara asing.
<b>Lebih parah</b>
"Tak banyak perbedaan antara tentara Rusia dan Amerika," kata Del, mantan pejuang anti-Sovyet.
Tetapi, "seingat saya tentara Rusia tak pernah memasuki rumah orang tanpa permisi, dengan cara mendobrak pintu rumah mereka," katanya.
Soliman, yang juga mantan mujahid, juga kecewa oleh perang tersebut, kemiskinan dan tindakan tentara asing.
"Setelah kami mengalahkan tentara Rusia, kami mengharapkan Afghanistan yang makmur dan berlandaskan ajaran Islam. Namun apa yang kami hadapi hari ini bukan lah yang kami idam-idamkan," katanya.
"Apa yang dilakukan tentara Amerika hari ini, seperti menggeledah rumah warga dan membom desa rakyat Afghanistan, takkan pernah diterima oleh mujahidin," tambahnya. (*)
Copyright © ANTARA 2009