Lombok Tengah, NTB (ANTARA News) - Sekitar 20 ribu warga Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) memadati kawasan perbukitan Seger, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, guna menghadiri malam puncak penyambutan tradisi "Bau Nyale" (Tangkap Nyale), sejak Sabtu (14/2) malam hingga Minggu (15/2) dini hari.
Malam puncak penyambutan tradisi "Bau Nyale" juga merupakan puncak festival budaya menyongsong pesta rakyat Lombok di bagian selatan itu yang sudah digelar sejak 11 Pebruari lalu.
Warga Lombok dari berbagai pelosok terutama dari Kabupaten Lombok Tengah itu berbondong-bondong ke bukit dan pantai Seger itu menggunakan beragam jenis kendaraan bermotor hingga terjadi kemacetan arus lalu intas dan antrean panjang di pintu masuk kawasan pantai.
Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah dan Pemerintah Provinsi NTB sepakat untuk menggelar tradisi "Bau Nyale" tahun ini ada tanggal 14-15 Pebruari, namun festival budaya digelar beberapa hari sebelumnya.
Tradisi "Bau Nyale" yang sudah turun-temurun sejak ratusan tahun silam itu didasarkan pada.penghitungan penanggalan menurut tahun Sasak.
Setiap tahun "Nyale" atau sejenis cacing laut anelida (polycaetae) yang muncul sekali dalam setahun di pantai selatan Pulau Lombok, ditangkap pada tanggal 19 dan 20 bulan kesepuluh dan kesebelas. Awal tahun Sasak ditandai dengan terbit bintang "Rowot", sementara menurut penghitungan suku Sasak bulan kesatu dimulai pada tanggal 25 Mei dan umur setiap bulan dihitung 30 hari.
Jika dibandingkan dengan tahun Masehi, perbedaan siklusnya berbeda sedikit atau bulan kesepuluh dan dan kesebelas itu berkisar antara Pebruari atau Maret.
Sejauh ini tradisi "Bau Nyale" dilaksanakan di empat titik yakni pantai Selong Belanak, Kecamatan Praya Barat, Pantai Tampak, Kecamatan Pujut, Pantai Mawun, Desa Tumpak, Kecamatan Pujut, dan pantai Seger, Desa Kuta, Kecamatan Pujut.
"Nyale" yang hendak ditangkap itu diyakini merupakan jelmaan dari Putri Mandalika yang pada ratusan tahun silam memilih menceburkan diri ke Laut Selatan Pulau Lombok ketika kesulitan memilih satu dari tiga pangeran yang sangat ingin mempersuntingnya.
Konon saat menceburkan diri itu Putri Mandalika berubah menjadi "Nyale" yang kemudian diasumsikan oleh masyarakat di sekitar pantai selatan itu kalau Puteri Mandalika berubah menjadi "nyale" agar berguna bagi banyak orang, daripada menjadi obyek perebutan ketiga pangeran tersebut. (*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009