Jakarta (ANTARA News) - Rita tidak menyangka ketika sedang sibuk memasak, rumahnya yang sudah tergenang air setinggi lututnya sejak kemarin tiba-tiba diterjang air bah dari pintu dan jendela hampir setinggi lehernya.
Ia terpaksa berenang merayap keluar bersama anak-anaknya dengan panik di tengah berbagai perabotannya yang juga mulai mengambang. Ia tidak sendiri, tetangganya satu kelurahan juga mengalami hal serupa, demikian pula kebanyakan warga Jakarta lainnya.
Ini adalah kejadian dua tahun lalu ketika hujan deras mengguyur Jakarta 31 Januari-1 Februari 2007, dan berlangsung pada malam hari sampai pagi, selama 8-9 jam tanpa henti.
Banjir bandang di ibukota tentu saja tidak sekedar terkait dengan tergenangnya atap-atap rumah, hujan deras dan air kiriman dari Bogor, atau berkaitan dengan mitos siklus 5-6 tahunan.
Banjir bandang seperti terjadi pada 1996, 2002 dan 2007 lebih jauh dipengaruhi iklim yang ekstrem di mana sejumlah faktor pemicu hadir secara bersamaan.
Kepala Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana BPPT Dr Fadli Syamsudin mengatakan, ada empat faktor pemicu banjir di Jakarta dari sisi klimatologi.
Faktor tersebut, ujarnya, adalah faktor yang disebut cold surge, yaitu massa udara dingin yang terbawa oleh sirkulasi angin utara-selatan (meredional) akibat gangguan tekanan tinggi di kawasan Siberia mengalir ke kawasan ekuator dan ke selatan melalui pesisir utara Jawa.
Faktor kedua adalah gangguan atmosfer dalam bentuk osilasi gelombang Maden-Julian Oscillation (MJO) yang alirannya memiliki periode 30-50 harian.
Faktor ketiga, lanjut dia, kondisi iklim regional seperti fenomena El Nino/La Nina Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
"Selain ketiga tadi, ada juga faktor lokal seperti Jakarta yang memiliki pola harian curah hujan yang dipengaruhi lingkungan maritim di sekitarnya yang memicu tingginya curah hujan," katanya.
Jika empat faktor tersebut hadir secara bersamaan maka intensitas hujan semakin tinggi dan potensi banjir semakin besar, seperti terjadi pada Februari 2007, namun jika beberapa faktor itu tidak ada, potensi banjir juga berkurang, tambahnya.
Cold Surge
Ia menguraikan bagaimana banjir Februari 1996, 2002 dan 2007 sangat dipengaruhi oleh hadirnya cold surge, aliran massa udara dingin dengan kecepatan lebih dari 10 meter/detik (m/det) dan berlangsung selama 12-24 hari.
Selain faktor dominan itu, pada banjir 1996 La Nina lemah juga hadir bersamaan dengan datangnya fase aktif MJO. Sedangkan banjir Februari 2002 terjadi pada saat kondisi iklim regional normal namun ada dalam fase aktif MJO.
Fenomena MJO terkait langsung dengan pembentukan kolam panas di Samudra Hindia bagian timur dan Samudra Pasifik di bagian barat sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal.
Awan konvektif ini menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi sepanjang penjalarannya yang menempuh jarak 100 kilometer dalam sehari di Samudra Hindia dan 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia.
Selain meningkatkan curah hujan, MJO juga menyebabkan munculnya siklon tropis dan gangguan instabilitas atmosfer, seperti depresi atau tekanan rendah.
MJO, urainya, menjadi faktor dominan kedua selain cold surge yang menyebabkan banjir Jakarta 1996 dan 2002.
Sementara itu banjir Februari 2007 terjadi saat kondisi iklim regional El Nino di Samudra Pasifik dan IOD di Samudra Hindia baru saja meluruh, tetapi MJO pada fase tidak aktif.
Kondisi iklim regional IOD yang meluruh di Samudra Hindia bagian timur dianalisis sebagai faktor kondusif meningkatnya intensitas curah hujan harian secara lokal di wilayah Jakarta dan sekitarnya saat itu, ujarnya.
Cold surge, lanjut dia, juga membawa uap air hangat dari Laut China Selatan dan Selat Karimata mencapai wilayah Jakarta menyebabkan konvergensi angin (datang dari arah barat daya) bertekanan rendah di permukaan (0-3 km) yang secara intensif dan berlangsung cukup lama sejak akhir Januari sampai minggu pertama Februari 2007.
Sebaliknya di lapisan menengah (lebih dari 3 km) berembus angin tenggara yang berlawanan dengan arah angin di lapisan bawahnya dan membawa massa udara kering akibat proses depresi di Samudra Hindia bagian timur pada saat meluruhnya IOD.
"Kondisi itu menyebabkan gaya gesekan angin secara menegak (wind vertical shear) yang besar di permukaan dan menjadi kondisi sangat kondusif untuk intensifikasi pembentukan awan kumulus," katanya.
Tak Berulang
Sementara itu, pakar cuaca dari Japan Agency for Marine Earth Science and Technology (Jamstec), Wu Peiming, memperkirakan banjir yang terjadi pada Februari 2009 di ibukota Jakarta tidak akan separah banjir 2007.
"Faktor-faktor cuaca pemicu banjir saat ini tidak menonjol. Cold surge sudah terjadi pada Januari 2009 lalu sehingga tidak ada cold surge lagi pada Februari, demikian pula fenomena La Nina sudah melemah dan gangguan atmosfer dalam bentuk osilasi gelombang Maden-Julian Oscillation (MJO) ada dalam fase kering," katanya.
Selain itu, lanjut Wu, dilihat dari pengaruh lokal harian, angin kencang di ketinggian atmosfer mengganggu pembentukan uap air hujan harian sehingga tertahan di bawah dan menyebar, tidak berkumpul menjadi pemicu banjir.
Senada dengan Wu, Pakar Klimatologi dari BPPT Dr Edvin Aldrian sejak Januari lalu sudah menegaskan, tidak ada banjir bandang pada 2009.
Datangnya cold surge dari Siberia yang bakal menyebabkan banjir bandang, ujarnya, bisa diamati dari terjadinya badai salju di kawasan Hongkong seminggu sebelum mencapai pesisir jawa.
Demikian pula hadirnya MJO, kondisi cuaca yang bergerak ke timur dalam periode 50 harian.
"MJO dalam kondisi basah muncul sedikit demi sedikit sejak Desember 2008 hingga awal Januari 2009, tidak ada energi yang tertahan ketika menuju puncak musim hujan pada awal Februari," katanya.
Pada banjir 2007, MJO yang hadir pada Desember 2006 hingga Januari 2007 adalah MJO yang kering. Hal itu berarti ada energi yang tertahan di situ, sehingga kondisi cuaca pada Januari akhir sangat basah, tambahnya.
Dengan mengamati MJO, menurut dia, bisa mendeteksi apakah akan ada banjir bandang di Jakarta atau tidak pada puncak musim hujan Februari.
Faktor ketiga, lanjut dia, adalah pusaran massa udara di baratdaya Jawa yang biasa muncul pada bulan Januari-Februari dan bisa menarik angin Siberia (cold surge) ke selatan dan ikut memperbesar curah hujan di kawasan pesisir Jawa.
"Bibit-bibit badai ini bisa terdeteksi sekitar tiga hari sebelum mencapai puncaknya," katanya.
Sedangkan kondisi iklim regional El Nino/La Nina Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, menurut dia, tidak banyak berpengaruh pada potensi banjir bandang.
"La Nina-El Nino adalah penanda musim kemarau apakah basah atau kering. Beberapa studi mengungkap pengaruhnya kuat hanya pada bulan September-Oktober namun pada Desember-Januari lemah, sehingga sulit untuk menjadi indikator banjir," katanya.
Pengaruh iklim, ia mengingatkan, juga bukan satu-satunya faktor penentu banjir, karena faktor lain seperti kondisi daya dukung lingkungan yang sudah melemah seperti berkurangnya daerah resapan air dan hilangnya vegetasi juga sangat berpengaruh. (*)
Pewarta: Oleh Dewanti Lestari
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2009