Sejumlah anggota DPR melontarkan anggapan itu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara KPK dan Komisi III DPR di Jakarta, Rabu.
Agus Condro pernah melaporkan bahwa dirinya menerima cek senilai Rp500 juta setelah pemilihan Miranda S. Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI).
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan aliran sekira 400 cek, yang diduga ada kaitannya dengan laporan Agus Condro.
Anggota Komisi III Nursyahbani Katjasungkana dalam RDP mempertanyakan kenapa laporan Agus Condro masih dalam tahap penyelidikan. Menurut Nursyahbani, laporan Agus merupakan salah satu bukti kuat karena pernah disampaikan di persidangan.
Dia menyesalkan penanganan kasus itu yang terkesan berlarut-larut. "Sepertinya begitu lambat, padahal ini adalah kasus yang sangat ditunggu," kata Nursyahbani.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Chandra M. Hamzah menyatakan KPK tidak bisa sertamerta menyatakan suatu kasus mengandung unsur tindak pidana korupsi.
Menurut Chandra, KPK harus hati-hati dalam menyelidiki suatu kasus dugaan korupsi. Dengan demikian, KPK tidak mengalami kekurangan alat bukti ketika meningkatkan suatu kasus dalam tahap penyidikan. "Itu karena KPK tidak bisa menghentikan penyidikan," kata Chandra.
Chandra mengakui pengakuan di persidangan adalah alat bukti yang bisa digunakan untuk mengusut kasus. Namun keterangan di persidangan saja tidak cukup untuk melakukan pengusutan.
Penjelasan Chandra itu langsung ditanggapi oleh anggota DPR Mayasak Johan. Menurut Mayasak, keterangan saksi adalah alat bukti yang sah sehingga sangat memiliki kekuatan untuk bukti penanganan kasus.
Mayasak meminta pimpinan KPK untuk tidak menafsirkan ketentuan dalam hukum acara secara berlainan. "Jangan ditafsirkan lain, nanti itu jadi retorika," kata Mayasak.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2009