(ANTARA News) - Baru beberapa bulan lalu ia disebut-sebut sebagai perempuan kedua yang bakal menjadi perdana menteri Israel setelah Golda Meir, dan kini Tzipi Livni mendekati akhir perjuangan guna mengubah gerakan politik yang bergeser ke sayap-kanan, menyusul serangan Israel ke Jalur Gaza, 27 Desember 2008-18 Januari 2009.

Perempuan paling tangguh di Israel itu, yang kini memangku jabatan Menteri Luar Negeri, menderita pukulan besar pada penghujung 2008, ketika ia gagal memperoleh cukup banyak dukungan di parlemen guna membentuk pemerintah baru, setelah ia menjadi pemimpin partai-tengah Kadima.

Livni, mantan pendukung kuat kubu Zionis nasionalis yang telah menjadi penganjur pembentukan negara Palestina, menolak tunduk pada tuntutan agar ia menyampaikan komitmen untuk tidak merundingkan masa depan Jerusalem sebagai bagian dari pembicaraan perdamaian Timur Tengah, demikian laporan kantor berita Prancis, AFP.

Penolakannya pada tuntutan dari kelompok yang berpotensi menjadi mitra koalisi pada September 2008 memicu pemilihan umum dini Selasa (10/2).

Pengacara berusia 50 tahun itu, kata AFP, memiliki reputasi bagi persatuan yang membuat dia berada jauh dari skandal korupsi yang telah menodai ajang politik Israel selama bertahun-tahun dan akhirnya memaksa Perdana Menteri Ehud Olmert mengajukan pengunduran diri.

Namun ia menghadapi perjuangan berat dalam pemilihan umum melawan mantan perdana menteri "hawkish" Benjamin Netanyahu, yang partai sayap-kanannya Likud mengungguli Kadima dalam jajak pendapat sebelum pemungutan suara.

Mantan mata-mata dinas rahasia Mossad tersebut, yang terkenal di kalangan diplomatik setelah dua-setengah tahun menjadi Menteri Luar Negeri, telah memelopori perundingan perdamaian yang berjalan lamban dengan Palestina, yang diluncurkan kembali dalam konferensi yang dituan-rumahi AS pada November 2007.

Namun dalam proses menuju pertarungannya melawan Netanyahu, Livni telah mengambil sikap lebih keras dibandingkan dengan sebagian rekannya di partai bahkan kabinet mengenai parameter bagi kesepakatan perdamaian akhir.

Ia baru-baru ini menjauhkan diri dari pernyataan yang dilaporkan disampaikan pada Desember oleh Olmert bahwa Israel menawarkan dalam perundingan dengan Palestina untuk memindahkan 60.000 pemukim dari Tepi Barat Sungai Jordan.

Livni adalah menteri kabinet paling terkenal di Israel dan perempuan paling tangguh di negeri tersebut sejak Golda Meir --yang menjadi perdana menteri dari 1969 sampai 1974.

Tetapi, kata AFP, ia menepis perbandingan itu, dan memberitahu salah satu surat kabar Israel, "Saya bukan Golda Meir kedua, tapi Tzipi Livni pertama, dan saya akan memimpin Israel pada masa mendatang."

Majalah berpengaruh yang berpusat di AS, Forbes, telah menempatkan Livni pada urutan ke-52 dalam daftar perempuan paling tangguh di dunia.

Ironisnya, Livni dilahirkan dari keluarga termasyhur partai sayap-kanan Likud dan kini ia justru berharap dapat mengalah partai orang-tuanya tersebut dalam perolehan suara.

Ayahnya, kelahiran Polandia, Eitan Livni menjadi direktur operasi bagi Irgun, kelompok garis keras nasionalis yang memerangi kekuasaan Inggris sebelum pembentukan Israel pada 1948.

Ibunya, Sarah Rosenberg juga adalah seorang anggota militan Irgun, dan pasangan itu pertama kali menikah di negara Yahudi setelah negara tersebut berdiri pada 1948, sehingga Tzpi dibesarkan dengan visi mengenai Israel Raya yang akan meliputi seluruh Tepi Barat --Judea dan Samaria.

Kedua orang-tuanya ditangkap karena didakwa melakukan kejahatan pada 1940-an.

Tetapi di bawah asuhan mantan perdana menteri Ariel Sharon, Livni menjadi yakin bahwa satu-satunya cara melestarikan Israel sebagai negara Yahudi ialah dengan melepaskan sedikitnya sebagian tanah yang didudukinya dalam Perang Enam Hari 1967. Ia menjadi politikus moderat.

Livni dilahirkan pada 8 Juli 1958 dan menikah dengan Naftari Spitzer, seorang akuntan. Mereka memiliki dua anak, Omri (24) dan Yuval (12).

Ia meraih gelar hukum dari Bar-Ilan University dan mengkhususkan diri dalam bidang hukum perdagangan, undang-undang dasar dan properti di satu perusahaan swasta selama 10 tahun, sebelum memasuki kehidupan pemerintahan.

Tahun lalu ia mengkonfirmasi laporan pers bahwa ia pernah bekerja selama empat tahun di dinas intelijen luar negeri Israel, Mossad, sebagai mata-mata.

Livni menjadi anggota parlemen sejak 1999 dan ditunjuk mengisi jabatan di kabinet pada Maret 2001, sebagai menteri kerjasama regional. Selama karirnya di pemerintahan, ia juga pernah memangku jabata portofolio pertanian, imigrasi dan kehakiman.

Keberhasilannya dikatakan memiliki dampak besar bagi proses perdamaian karena ia telah memperlihatkan kemampuan lebih besar guna berdialog dengan pihak Palestina dibandingkan dengan timpalannya dari pihak laki-laki.

Selain itu, dengan hanya 14 persen perempuan di parlemen Israel (Knesset), itu akan menjadi peningkatan kualitas gender di kancah politik negeri tersebut.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009