Brisbane (ANTARA News) - Dua orang akademisi Indonesia di Australia mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan ucapan belasungkawa atas nama rakyat Indonesia secara langsung kepada Perdana Menteri Australia Kevin Rudd berkaitan dengan bencana kebakaran hebat di negara itu. Belum adanya respons empati pemerintah RI di Jakarta itu disayangkan dua akademisi Indonesia di Universitas Queensland (UQ), Akh Muzakki dan I Nyoman Darma Putra. Setidaknya hingga Selasa sore waktu Brisbane atau hari ke-empat bencana, belum ada ucapan belasungkawa langsung Presiden Yudhoyono kepada PM Rudd padahal banyak kepala negara dan pemerintahan negara-negara lain, termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama, sudah menelepon pemimpin Australia itu. Menurut Akh Muzakki, respons pemerintah RI yang lamban itu menunjukkan kurangnya sensitifitas terhadap nasib buruk yang sedang menimpa rakyat Australia. Ia menilai pernyataan belasungkawa dari para diplomat RI di KBRI Canberra dan KJRI Melbourne tidak cukup mengingat Indonesia adalah negara tetangga Australia. "Terlebih lagi kalau Indonesia yang terkena musibah, Australia selalu menjadi negara pertama yang berempati sekaligus memberikan komitmen bantuannya. Kita ingat bagaimana tahun 2004 saat bencana tsunami di Aceh dan Nias, Australia dan Jepang memberi respons paling cepat," katanya. Respons pemerintah Australia dan Jepang itu justru datang ketika negara-negara Islam "belum bersuara" untuk Indonesia, katanya. Dalam masalah bencana kebakaran semak belukar yang telah merenggut nyawa 181 warga Australia di negara bagian Victoria itu, kejadiannya sudah berlangsung empat hari namun ungkapan empati pemerintah RI di Jakarta belum juga ada, kata dosen IAIN Surabaya yang sedang merampungkan studi doktornya di UQ itu. "Mestinya, untuk menunjukkan tingkat kepercayaan dan hubungan bilateral yang baik dengan tetangga terdekat kita, respons yang segera itu harus ditunjukkan pemerintah seperti yang dilakukan pemerintah federal Australia ketika kita mengalami bencana besar seperti tsunami diAceh dan Nias." "Respons segera, sensitifitas dan empati itu tidak selalu identik dengan bentuk bantuan finansial. Kalau pun umpamanya Indonesia memang miskin atau tidak sekaya Australia, bantuan finansial mungkin tidak `reasonable` (masuk akal). Tapi tetap saja yang namanya empati dan sensitifitas bisa dibentuk dari pernyataan politik dan sosial pemerintah dan berbagai kelompok masyarakat di Tanah Air," katanya. Pada saat Indonesia dilanda bencana tsunami 2004 lalu, bukan hanya pemerintah Australia yang segera memberikan responsnya tetapi rakyat negara itu juga bahu-membahu para korban tsunami di Aceh dan Nias, katanya. Hal yang sama juga disampaikan I Nyoman Darma Putra. "Mengapa Indonesia tidak sesigap Australia memberikan bantuan kemanusiaan dalam bencana alam Victoria, padahal belum lewat dari ingatan kesigapan Australia turun ke Aceh saat tsunami," katanya. Dosen Universitas Udayana yang sedang mengikuti program paska-doktoral di UQ itu mengingatkan kembali pemerintah dan rakyat Indonesia tentang kesigapan Australia membantu para korban tsunami dalam puisi berjudul "Kinglake" yang dia tujukan untuk mengenang para korban bencana kebakaran Victoria. "Ketika gempa bumi tsunami, meluluh-lantakkan negeri serambi, saat kita masih gagap, jauh dari sigap, mereka datang, meloncat tegap, memikul sedih dan perih, putra putri serambi tanpa pamerih ...," katanya dalam salah satu bagian puisinya itu. Terlepas dari belum adanya ucapan belasungkawa langsung Presiden Yudhoyono kepada PM Rudd, Darma Putra menyambut baik komitmen pemerintah RI mengirimkan tim identifikasi korban bencana sebagai bentuk bantuan praktis untuk Australia. Hingga hari ke-empat bencana, sejumlah pemimpin dunia yang sudah menyampaikan belasungkawa langsung adalah PM Inggris Gordon Brown, PM Selandia Baru John Key, Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, Sekjen PBB Ban Ki Moon dan PM Turki Recep Tayyip Erdogan. Seperti dilaporkan media Australia, Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta juga mengeluarkan pernyataan resmi berkaitan dengan bencana kebakaran di Victoria ini. Memasuki hari keempat bencana kebakaran dahsyat yang terjadi sejak akhir pekan lalu itu, jumlah korban tewas terus meningkat. Sejauh ini jumlahnya sudah mencapai sedikitnya 181 orang. Angka korban ini diperkirakan masih mungkin naik karena luasnya lokasi kebakaran dan para petugas pemadam kebakaran masih terus berjuang memadamkan api di sejumlah lokasi. Bencana kebakaran terburuk dalam sejarah Australia sejak 1983 itu tidak hanya menelan korban jiwa dan harta benda tetapi juga menghancurkan sedikitnya 750 rumah dan sekitar 400 ribu hektar hutan semak belukar. Untuk meringankan beban para korban, pemerintah federal telah menyiapkan bantuan tunai melalui "pembayaran Pemulihan Bencana Pemerintah Australia" masing-masing 1.000 dolar bagi setiap warga berusia dewasa dan 400 dolar bagi setiap orang anak. Para korban antara lain ditemukan di daerah Kinglake, Kinglake West, St Andrews, Wandong, Callignee, Hazelwood, Jeeralang, Humevale, Bendigo, Upper Callignee, Long Gully, Strathewan dan Arthurs Creek. Australia adalah salah satu negara sahabat Indonesia yang segera membantu para korban bencana tsunami Aceh-Nias 26 Desember tahun 2004 dan gempa bumi Nias tahun 2005. Australia juga memberikan banyak bantuan bidang pendidikan kepada Indonesia.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009