Yogyakarta  (ANTARA News) - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) perlu menata ulang fungsi legislasi, dengan melanjutkan perubahan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

"Fungsi legislasi makin menjauh dari model fungsi dalam sistem pemerintahan presidensial yang diinginkan, dan bergeser ke arah model fungsi legislasi dalam sistem pemerintahan parlementer," kata Saldi Isra dalam disertasinya pada ujian terbuka promosi doktor ilmu hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu.

Menurut dia, gagasan mempertahankan sistem presidensial dengan melakukan pemurnian sistem pemerintahan presidensial melalui perubahan UUD 1945 tidak membuahkan pemurnian fungsi legislasi.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas yang mempertahankan disertasi berjudul "Pergeseran fungsi legislasi dalam sistem pemerintahan Indonesia setelah perubahan UUD 1945" ini, mengungkapkan sebelum dilakukan perubahan UUD 1945 fungsi legislasi dilaksanakan berdasar pasal 5 ayat (1), pasal 20 dan pasal 21 UUD 1945.

Ketiga pasal itu kemudian diartikan bahwa kekuasaan pembentukan undang-undang berada atau dilakukan presiden, sedangkan DPR hanya memberi persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas suatu rancangan undang-undang (RUU).

Menurut Saldi, tafsir tersebut dimaksudkan untuk menjaga atau mempertahankan posisi presiden sebagai pusat kekuasaan dalam praktek penyelenggaraan negara sesuai dengan penjelasan UUD 1945 bahwa konsentrasi kekuasaan dan tanggung jawab ada di tangan presiden.

"Karena alasan konsentrasi itu, maka fungsi legislasi dimaknai sedemikian rupa, sehingga berada atau dilakukan presiden," katanya.

Sementara itu, pergeseran fungsi legislasi setelah terjadi perubahan UUD 1945 ditujukan untuk memperkuat peran DPR dan mengurangi kewenangan presiden.

Namun demikian, ungkap Saldi, setelah perubahan UUD 1945 fungsi legislasi tidak hanya menyangkut hubungan antara presiden dan DPR, tetapi setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi fungsi legislasi, di antaranya kehadiran DPD (dewan perwakilan daerah), sistem multipartai, hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan undang-undang, serta kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.

Oleh karena itu, peraturan yang mengatur proses pembentukan undang-undang dan melibatkan hubungan antarlembaga, perlu diatur secara rinci dalam undang-undang karena bisa mereduksi kewenangan lembaga lain.

"Disarankan agar DPR dan presiden mengubah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004," kata Saldi, yang lulus sebagai doktor ke 1.037 dari UGM. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2009