Jakarta (ANTARA) - Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo mengatakan salam kebangsaan sejatinya adalah untuk mengokohkan persaudaraan dalam perbedaan.
Hal ini dikarenakan sejak awal konsensus nasional yang dibangun oleh pendiri bangsa bukan untuk menghapus perbedaan tetapi untuk merawat perbedaan, kata Romo Benny dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Baca juga: PBNU: Salam dari berbagai agama perkuat kebangsaan
Baca juga: Kepala BPIP usulkan "Assalamualaikum" diganti "Salam Pancasila"? Ini faktanya
Baca juga: Try Sutrisno: Ayo gelorakan salam Pancasila
Karena itulah, lanjutnya, itikad membangun bangsa yang satu adalah tetap menghargai perbedaan bukan menyeragamkan perbedaan.
Dia menjelaskan bahwa rasa kebangsaan itu penting dimiliki untuk memperkuat seluruh masyarakat sebagai bangsa dan negara.
“Karena sebenarnya ada yang namanya ruh Pancasila di dalam diri kita bangsa Indonesia dan perlu juga untuk disosialisasikan kepada masyarakat bahwa sebenarnya salam Pancasila itu sudah lama ada karena itu untuk memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Romo Benny.
Lebih lanjut Romo Benny menyampaikan bahwa salam Pancasila itu muncul untuk membatinkan Pancasila, agar perilaku tercermin sila-sila dalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Karena dari sila pertama hingga sila kelima itu masing-masing sila itu adalah satu kesatuan yang utuh dan tidak bisa dilihat secara parsial.
"Karena itu, ketika seseorang semakin mencintai Tuhannya maka harusnya dia menghormati martabat manusia dengan menjaga persatuan yang kemudian membawa kita mencintai Bhinneka Tunggal Ika dan segala perbedaannya,” tutur pria yang juga rohaniawan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) ini.
Karena itu, katanya, untuk dapat mencintai Bhinneka Tunggal Ika diperlukan musyawarah mufakat untuk mencari solusi terbaik. Karena ketika musyawarah mufakat itu tercipta, maka di situ lah akan muncul keadilan.
"Adil itu bukan sama rasa, sama rata. Tapi adil itu adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Masyarakat yang tanpa diskriminasi yang hidupnya aman, tentram, damai, yang kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi,” kata alumni Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang ini.
Romo Benny juga mengatakan bahwa semua itu bisa diwujudkan dengan melakukan gotong royong. Oleh karena itu salam Pancasila harus disosialisasikan agar bisa menjadi kesadaran bersama.
"Kita jadikan Pancasila menjadi cara bertindak, berpikir dan berelasi. Sehingga salam itu harus terinternalisasi dalam diri kita. Karena dengan adanya salam Pancasila, tentunya perilaku kita harusnya menjadi manusia yang memiliki nilai-nilai Pancasila itu dan menjadi manusia yang berbudi luhur,” ucap pria kelahiran Malang 10 Oktober 1968 itu.
Menurut dia, tidak benar kemudian dikatakan salam Pancasila itu akan menggantikan salam yang lain, karena salam Pancasila itu salam kebangsaan.
“Karena itu berdasarkan maklumat Presiden dan ada Keputusan Presiden (Keppres)-nya,” tuturnya
Pria yang juga anggota Gerakan Suluh Kebangsaan ini juga mengatakan bahwa perlunya peran media untuk menyosialisasikan makna sebenarnya dari salam Pancasila dan bagaimana aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
"BPIP juga melakukan tugas menyosialisasikan bagaimana Pancasila itu menjadi kebijakan publik, dan Pancasila itu menjadi ideologi bangsa dengan metode yang kekinian. Bukan berarti metode yang lama dibuang, tidak seperti itu,” tuturnya.
Dirinya juga berharap agar sosialisasi ini nantinya bisa digunakan dengan menggunakan teknologi kekinian untuk menyasar milenial seperti menggunakan aplikasi, menggunakan media sosial ataupun juga menggunakan jaringan anak-anak milenial.
"Bisa juga mungkin pakai aplikasi Tik Tok dan sebagainya. Karena menurut hasil riset, milenial menyukai hal-hal yang sifatnya fun dan menarik. Kemudian orientasi mereka juga kepada tokoh idola seperti artis atau atlet olahraga. Nah dari dasar riset itu yang menjadi pedoman BPIP untuk melakukan sosialisasi di kalangan milenial,” ujarnya.
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020