Jakarta (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah adalah pihak yang harus ikut bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi akibat dari pemekaran daerah, termasuk persoalan pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap).
Demikian antara lain diungkapkan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam Dialektika Demokrasi Tema "Pemekaran Daerah, Siapa Yang Bertanggung Jawab", di Press Room DPR/MPR Senayan Jakarta, Jumat.
Diskusi juga menghadirkan pembicara Ketua Panja Pemekaran Komisi II DPR dari Fraksi PPP Chozin Chumaidy dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman.
Siti Zuchro menjelaskan, pemerintah dan DPR sebagai pihak yang harus ikut bertanggungjawab karena kedua lembaga itu yang menerima, membahas serta kemudian mengesahkan suatu daerah menjadi propinsi, kabupaten/kota.
Selama ini, pemerintah terlalu melonggarkan sikap untuk membahas usul pemekaran yang disampaikan elit politik di daerah dan pusat. "Pemerintah dan DPR terlalu membiarkan usul-usul pemekaran daerah," kata dia.
Dia juga menilai, pemekaran daerah baru lebih banyak gagal dari pada kesuksesannya dalam menyejahterakan masyarakat. "Karena itu, sebaiknya pemekaran daerah dihentikan saja. Pemekerahan ditutup, selesai sampai di sini," katanya.
Siti Zuhro mengakui, pemekaran daerah memang perlu jika memungkinkan dan memenuhi syarat, mengingat rentang kendali wilayah yang begitu luas, yang mengakibatkan pengendalian pemerintahan terhambat dan proses pembangunan juga tersendat serta kepentingan masyarakat juga terabaikan.
Namun dengan terjadinya beberapa kasus kegagalan dan bahkan hingga merengut yawa pejabat negara, maka pemekaran wilayah harus dihentikan. Apalagi pemekaran itu kemudian diintervensi atau dikelola oleh elit-elit partai politik di daerah maupun di pusat serta calo-calo kekuasaan dan anggaran.
"Termasuk ada transaksi-trasaksi uang. Di samping terjadi pengambilalihan kepentingan oleh elit partai politik. Kalau kucurannya besar, prosesnya cepat," kata Siti Zuhro seraya menambahkan bahwa kucuran uang dalam proses pemekaran semakin menambah rumit persoalan.
Adanya transaksi-transaksi dalam proses pemekaran wilayah, menurut dia, semakin menjauhkan esensi dan kepentingan pemekaran. Pemekaran menjadi semakin jauh dari kebutuhan sebenarnya, yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sejak 1998 jumlah daerah otonom baru di Indonesia meningkat dua kali lipat. Apabila tahun 1998 ada 230 kabupaten/kota, jumlah itu meningkat menjadi 477 di akhir 2008. "Jumlah itu memungkinkan terus bertambah karena usul pemekaran begitu banyak. Namun atas berbagai persoalan krusial, sebaiknya seluruh proses pemekaran dihentikan," katanya.
Dari aspek kesejahteraan, kata dia, pemekaran tidak memberikan banyak pengaruh bagi masyarakat. Bahkan sebaliknya menjadi terbebani, karena DPR dan pemerintah menyetujui begitu saja usulan pemekaran, padahal dibalik pemekaran itu terselubung kepentingan partai politik.
"Tidak hanya membebani masyarakat, tetapi juga sangat membebani anggaran negara. Kalau mempermudah dan bermanfaat bagi pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, sebenarnya tidak masalah pemekaran dilakukan sekalipun negara terbebani," katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009