Pernyataan tersebut diungkapkan Rina Indiastuti, Guru Besar Ekonomi Industri, Bank, dan Lembaga Keuangan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran dalam Orasi Ilmiahnya di Gedung Graha Sanusi, Bandung, Jum`at.
Kontraksi tersebut merupakan kerugian yang ditanggung oleh ekonomi dan industri Indonesia.
Dikatakan, ketidakseimbangan kekuatan pasar para pelaku ekonomi di dunia telah menyulitkan pasar Indonesia untuk bekerja otomatis dalam menghasilkan efisiensi yang sangat diidamkan dengan pembagian surplus yang adil antara produsen dan konsumen.
Faktanya, menurut Rina, peningkatan surplus produsen lebih banyak dinikmati oleh perusahaan berskala besar yang memiliki kekuatan pasar yang besar, sehingga pada waktu bersamaan, terjadi pula penurunan surplus konsumen.
Setelah terjadi kerugian akibat tingkat pertumbuhan ekonomi negatif, akan terjadi perlambatan pertumbuhan daya beli akibat tekanan inflasi dan penurunan nilai tukar rupiah, penurunan laba perusahaan, dan penurunan akumulasi kapital industri.
Hal tersebut terbukti setelah lima tahun pasca krisis ekonomi pada 1997, kemampuan Indonesia masih kalah dengan China dan Thailand dalam akumulasi pembentukan kapital.
"China unggul dikarenakan kemampuan pelaku ekonomi, masyarakat, dan pemerintahnya untuk mengurangi dampak krisis ekonomi global, misalnya dengan meningkatkan tabungan dan kemampuan perusahaan dalam melakukan re-investasi", katanya.
Untuk itu, menurutnya, pemerintah merupakan faktor yang memengaruhi kemampuan perusahaan dalam menghadapi tekanan persaingan pasar global, yang mana faktor-faktor tersebut dapat memengaruhi ukuran perusahaan, yaitu melalui instrumen kebijakan ekonomi, seperti pajak penjualan, rationing atau penjatahan, dan kontrol harga.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
Pake produk dalam negeri
kurangi pake knsultan LN
Manfaatkan Sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
Manfatkan tenaga angin, dan air (ombak) untuk kesejahteraan rakyat.