"Iklan di media cetak, misalnya, bukan membuat kita cerdas tetapi malah membuat kita bingung. Di dalam semua iklan tersebut janji-janji dari partai dan kandidat diumbar luar biasa, dengan klaim tanpa pembuktian," kata dosen ilmu komunikasi Fisipol UGM Wisnu Martha Adiputra SIP MSi di Yogyakarta, Jumat.
Kalaupun ada pembuktian, menurut dia, itu terlalu rumit dan masih bisa diperdebatkan dan memicu kontroversi.
Selain itu, iklan politik juga terkesan digunakan untuk ajang "debat kusir", misalnya dua calon kandidat paling atas seperti "berantem" sendiri, saling menjawab dan mencerca.
Menurut dia, secara teknis, penyampaian iklan politik tersebut juga seperti gaya makalah. Ada pernyataan yang dilengkapi dengan cacatan kaki di bawahnya.
"Semua itu menyedihkan sekali, karena membuat masyarakat, terutama di pedesaan menjadi bingung melihat hal seperti itu," katanya.
Ia mengatakan, fenomena iklan yang tidak mendidik itu juga terjadi dari iklan personal kandidat calon anggota legislatif yang bersifat sederhana hingga iklan di media massa yang lebih kompleks.
Selain itu, iklan kandidat yang mengambil ruang publik selain secara teknis buruk juga terkesan norak dan dapat dipertanyakan eksistensinya. Bukan hanya itu, pesan iklan yang seharusnya bersifat persuasif malah bersifat propaganda.
"Pesan yang seharusnya membuat orang tertarik malah membuat kita ingin menghindar. Bahkan, pesan yang seharusnya menjadikan masyarakat terinformasi, bahkan tercerahkan, malah membuat semakin ingin menghindari informasi itu dan terbodohkan, karena tidak ada yang menarik dari iklan itu," katanya.
Sebenarnya, menurut dia, jika pesan iklan disampaikan dengan efektif dan elegan bukan tidak mungkin akan menjadi pendorong yang kuat untuk membuat masyarakat memilih kandidat atau partai tersebut.
Ia mengatakan, fenomena iklan politik yang belum bagus menjelang Pemilu 2009 sebenarnya merupakan proses pembelajaran bagi masyarakat Indonesia. Hal yang sama juga pernah terjadi pada Pemilu 1999 di mana konvoi dengan kendaraan bermotor dianggap sebagai bentuk kampanye yang paling efektif.
Demikian pula penggunaan iklan politik dan debat di televisi pada Pemilu 2004. Semua itu jika diperbaiki ada yang dihilangkan dan ada yang dipercantik. Kini, konvoi kendaraan bermotor bukanlah bentuk kampanye paling penting, kalaupun ada cenderung bisa lebih diatur.
"Debat melalui media, terutama di televisi menjadi lebih umum dan dengan format yang interaktif," kata penggiat kampanye literasi media di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta itu.
Menurut dia, tidak ada cara lain untuk membuat masyarakat tidak tertipu oleh iklan politik selain menjadikan masyarakat memiliki kecakapan bermedia yang memadai, kampanye literasi media perlu lebih intensif dilakukan.
"Hal itu dilakukan tidak hanya dalam keperluan memahami pesan politik, melainkan juga secara umum memberdayakan masyarakat dari pihak yang memiliki kepentingan atas media," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2009