Berawal dari adanya warga yang menggali tanah liat untuk membuat batu bata, muncul benda yang mencurigakan yang oleh para akreolog disebut sarkofagus.
Benda yang antara lain berbentuk mirip kura-kura dan trapesium itu, ditemukan pada kedalaman galian tanah antara 1.5 sampai dua meter.
Beberapa ahli sejarah menyimpulkan bahwa dari temuan itu, ternyata di belahan Pulau Dewata telah sempat dihuni manusia yang berbekal kemampuan seni dan teknologi yang cukup handal pada zamannya, yakni sekitar 2.500 sampai 3.000 tahun silam.
Temuan dinilai cukup spektakuler. Dalam sarkofagus kura-kura ditemuakn kerangka manusia yang diduga anak-anak, sementara di dalam "peti" trapesium berisikan kerangka orang dewasa.
Kerangka jenazah anak-anak ditemukan seperti posisi bayi dalam kandungan, sedangkan tulang-belulang orang dewasa diduga saat dikubur dalam posisi terduduk.
Tidak hanya itu, di sekitar temuan sarkofagus yang keempat, petugas juga menemukan pecahan gerabah kuno. Temuan ini diharapkan bisa mendukung kajian untuk dapat mengungkap era kehidupan dan budaya purba di belakan Bumi Dewata.
Tim Balai Arkeologi Denpasar bersama tim Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), Kamis (5/2) melanjutkan penggalian di Desa Keramas, menyusul temuan sarkofagus keempat, Rabu (4/2), dalam posisi yang tidak begitu jauh dengan lokasi penemuan sarkofagus pertama.
Benda yang mirip dengan bulatan telur itu, pada penemuan pertama dan kedua tercatat berukuran 60 x 35 x 60 sentimeter, kemudian temuan yang ketiga dan keempat, ukurannya hampir sama 90 x 45 x 60 sentimeter.
Kepala Penelitian Balai Arkeologi Denpasar, Ayu Kusumawati, membenarkan pihaknya menemukan pecahan gerabah di lokasi penggalian sarkofagus yang diperkirakan telah berusia sekitar 2.500 sampai 3.000 tahun itu.
Temuan pecahan gerabah masih perlu diteliti lebih lanjut, apakah benar dari warisan peradaban masyarakat zaman itu atau dari masa yang berbeda. Walaupun temuan ini memperkaya bahan kajian, namun sekaligus juga semakin membingungkan.
Masalahnya, tahun pembuatan sarkofagus tampaknya tidak dilakukan pada periode yang sama dengan gerabah-gerabah itu. Ini diperlukan penelitian yang lebih cermat dan seksama, katanya.
Sementara temuan sarkofagus pertama diperkirakan berasal dari masa Paleolitikum atau awal peradaban zaman batu. Namun melihat sarkofagus yang bagian permukaannya halus, diperkirakan pembuatannya sudah menggunakan peralatan dari logam, seperti besi, perunggu dan sedikit emas.
Ayu Kusumawati berharap temuan pecahan gerabah tersebut bisa mengungkap lebih lanjut kehidupan masyarakat pada zaman itu, sehingga dapat mendukung perkiraan asal sarkofagus tersebut dari zaman Paleolitikum, Mesolitikum (pertengahan) atau zaman batu modern (Neolitikum).
Tim penggalian dan evakuasi juga berharap akan menemukan benda-benda kuno lainnya yang mendukung bahan kajian mengenai kehidupan dan kemajuan masyarakat pada zamannya.
Dalam kegiatan penggalian dan evakuasi tersebut, dari dalam sarkofagus trapesium temuan kedua, hanya menyisakan bentuk gundukan/gumpalan tanah yang dipastikan dari mayat anak-anak.
Kemudian dari sarkofagus ketiga masih terdapat tengkorak dan tulang-belulang serta gigi dari orang dewasa, yang penguburannya dalam posisi jongkok.
Selain itu juga ditemukan tengkorak dan tulang-tulang manusia di luar sarkofagus atau kuburan terbuka, serta tulang-tulang binatang yang diduga dari satwa jenis lembu atau sapi.
Petugas menyebutkan, penelitian yang dilakukan pihaknya sejak tahun 1978 di sejumlah daerah di Bali, tercatat telah menemukan sebanyak 128 sarkofagus yang berasal dari 12 lokasi atau desa desa.
Dari benda purbakala sejumlah itu, terbanyak ditemuakan di Kabupaten Gianyar, termasuk di Desa Keramas yang hingga kini telah terhitung lima sarkofagus.
Kepala Balai Arkeologi Denpasar, Wayan Suantina, menyatakan kegembiraannya soal temuan beberapa sarkofagus di Desa Keramas, Gianyar, yakni di lahan galian milik AA Gede Rai.
Namun demikian, ada kecemasan dari temuan itu, antara lain terkait masalah pelestarian situs arkeologi tersebut.
"Saya gembira sekali, namun sayang kami terkendala dana. Masalahnya, badan pemerintah ini penganggarannya ditetapkan memakai skema berbasis kinerja," katanya.
Suantina menyatakan, pengganggaran berbasis kinerja itu sangat mensyaratkan perencanaan anggaran yang ketat pada tahun anggaran termaksud.
"Siapa yang tahu bahwa ada banyak sarkofagus di sana ?. Jelas situs itu tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa upaya pelestarian secara arkeologis yang sebaik mungkin," katanya.
Terkait masalah pendanaan situs itu, lanjut dia, pihaknya akan mengadakan komunikasi dengan pemerintah pusat di Jakarta dan berbagai instansi terkait dalam waktu secepatnya.
Terlepas dari itu, dia mengaku belum bisa menentukan apakah dusun itu akan ditetapkan menjadi cagar arkeologi seperti di Trowulan, Jawa Timur, atau tidak.
"Kami belum dapat memastikan karena masih harus dilakukan pengkajian dari berbagai disiplin ilmu, di samping aspek sosial kemasyarakatan juga harus dipertimbangkan." katanya.
Yang jelas, katanya, pihaknya sangat mengharapkan bantuan dari sejawat ilmuwan dan kalangan akademisi untuk mengungkap berbagai hal terkait kehidupan masyarakat di lokasi itu pada masa lalu. (*)
Oleh oleh Yanes Setat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009