"Sehingga penyaluran subsidi KPR tidak hanya bank konvensional dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) namun ke depannya juga BPR," kata Deputi bidang
Pembiayaan Kemenpera, Tito Murbaintoro di Jakarta, Kamis.
Sebagai tahap awal, kata Tito, telah dilaksanakan sosialisasi dengan BPR di Jawa Tengah karena rata-rata sahamnya 59 persen dimiliki Pemerintah Provinsi dan 41 persen Pemerintah Kabupaten.
Mengenai daerah lain, akan dilihat terlebih dahulu peran Pemda terhadap BPR yang memiliki peranan penting dalam melaksanakan pengendalian, bagi pemerintah pola ini lebih aman dalam menyalurkan subsidi, jelasnya.
Tito mengatakan, aset yang dimiliki BPR di Jateng ada yang mencapai Rp6 miliar diharapkan sebagai tahap awal BPR dapat menyalurkan 500 sampai 1.000 unit KPR sudah merupakan prestasi bagus.
Tito mengatakan, pihaknya menunggu BPR untuk mengajukan draft Perjanjian Kerjasama Operasi (PKO) dalam rangka penyaluran KPR subsidi, apalagi saat ini dari BPR sudah ada yang masuk di KPR seperti di Sragen meski baru 14 unit.
Tito mengatakan, untuk menyalurkan subsidi KPR tidak sekedar melihat penghasilan akan tetapi juga harus melihat kesanggupan dalam mengangsur, kalau tidak mampu jangan dipaksa.
"Saya tetap mengkedepankan prinsip kehati-hatian dan BPR jangan sampai melakukan moral hazard karena sepertihalnya bank umum, BPR saat ini juga diawasi Bank Indonesia," kata Tito mengingatkan.
Bahkan, BPR yang beroperasi sebagian sahamnya dimiliki Pemda sehingga pengawasan berlapis dari Pemda itu sendiri," ujarnya.
Tito mengaku, tingkat bunga kredit BPR memang tinggi mencapai 24 persen, akan tetapi dengan KPR diharapkan pokok terus mengalami penurunan ditambah subsidi Rp9 juta maka peminjam tidak lagi membayar bunga lagi.
Tito mengatakan, untuk BPR pihaknya menawarkan KPR mikro bersubsidi untuk golongan I mendapat fasilitas subsidi Rp9 juta cukup untuk membangun Rumah Sederhana Sehat (RSH). (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009