Nazareth, Israel (ANTARA News/AFP) - Ihab Issa menuturkan dia tidak bisa menerima perang sebagai buntut dari ofensif Gaza dan bersumpah tidak akan mengikuti pemilu Israel pada 10 Februari 2009.
Pemilik restoran berusia 28 tahun ini adalah seorang dari 1,4 juta penduduk Arab yang tinggal di Israel dan terjepit antara identitas mereka sebagai orang Palestina dengan satu negara Yahudi yang militeristis dan kaum ekstremis Yahudi yang menyeru pengusiran mereka dari Israel.
"Perang, perang dan lagi-lagi perang. Setiap tahun Israel berperang dan anak-anak serta orang-orang tidak berdosa terbunuh...di Gaza, di Lebanon," katanya penuh kemarahan.
"Kini mereka (Israel) meminta saya memberikan suara untuk seseorang. Bagaimana saya bisa memilih?" tanya Issa yang duduk di sebuah meja restoran Torkiy miliknya di Nazareth, kota Arab terbesar di provinsi Galilee.
Warga Arab Israel yang keturunan dari 160 ribu penduduk Palestina yang tetap tinggal setelah proklamasi negara Israel pada 1948, kini menghimpun 20 persen dari total populasi Israel.
Namun potensi suara yang sangat besar itu terpecah belah akibat tidak bersatunya partai-partai Arab yang saling bersaing.
Meskipun begitu, pada pemilu kali ini para politisi Arab berani berharap demi keadaan lebih baik setelah Mahkamah Agung membatalkan larangan mengikuti pemilu terhadap dua koalisi partai Arab karena dituduh tidak mau mengakui hak hidup Israel.
"Ini adalah pemilu untuk balas dendam, bukan demi darah namun untuk tujuan-tujuan demokratis," kata Sheikh Ibrahim Sarsour, yang mengepalai Partai Persatuan Arab dan gerakan Islam moderat di Israel.
Sarsour mengimbau warga Arab untuk menggunakan suaranya guna membalaskan kematian dan penghancuran selama tiga minggu di Jalur Gaza, mematahkan upaya larangan terhadap partai-partai Arab dan melawan diskriminasi Arab di Israel.
Ketakutan bahwa pemerintah Israel mendatang bakal memperkeras tekanan untuk memindahkan warga Arab Israel ke sebuah negara Palestina merdeka di masa depan, telah meningkat menjelang pelaksanaan pemilu nanti.
"Kami merasa tengah menghadapi ancaman nyata terhadap keberadaan fisik kami. Dalam 30 tahun ke depan kami mungkin menguasai 45-50 persen dari total penduduk (Israel), sebuah bom waktu demografis bagi Israel," kata Sarsour di kantornya di Kfar Qasem, sebuah kota Arab yang menghadap pepantaian Israel.
Salah seorang pendukung utama pemindahan warga Arab dari Israel adalah Avigdor Lieberman dan partainya yang tengah menanjak populer Yisrael Beitenu, diperkirakan memperoleh 16 kursi sehingga memungkinkannya bergabung dalam pemerintahan mendatang.
Bahkan Menteri Luar Negeri Tzipi Livni yang mengetuai Partai Kadima ikut-ikutan mendesak kaum nasionalis Arab di Israel untuk bergabung saja dengan negara Palestina merdeka, sebuah permintaan yang membuat galau komunitas Arab.
Tingkat partisipasi warga Arab Israel untuk mengikuti pemilu terus menurun dari 90 persen pada 1950an menjadi 62 persen pada 2003 dan 56 persen pada 2006 dimana 30 persen diantaranya memilih partai-partai zionis.
"Kami semua tengah berupaya keras untuk mencapai yang terbaik dengan persentase sebesar itu," kata Sarsour yang membidik 12 sampai 15 kursi Arab di parlemen Israel, sebuah peningkatan meyakinkan dalam parlemen Israel (Knesset) yang total memiliki 120 kursi.
Di tengah kekhawatiran yang terus meningkat ini, upaya-upaya untuk mempersatukan partai-partai Arab dalam sebuah daftar tunggal calon legislatif Arab Israel, telah gagal, sebagian besar karena sandungan masalah-masalah seputar figur pemimpin.
Paling gawat adalah Partai Putera Pertiwi (Abna el-Balad) karena telah menggabungkan diri dalam gerakan Islam radikal yang menyerukan pemboikotan pemilu sehingga menghilangkan kemungkinan 10 persen suara Arab.
Jamal Zahalka, kepala Majelis Demokrasi Nasional, berbicara mengenai perlunya menolak imbauan golput akibat trauma serangan Gaza.
Partai pimpinan Jamal yang menguasai tiga kursi parlemen ini, untuk pertamakalinya mengajukan seorang kandidat Druze yang berada di nomor urut dua dan seorang wanita di daftar caleg berikutnya.
Haneen Zobi akan menjadi perempuan Arab Israel pertama yang memasuki parlemen Israel.
Perempuan berusia 39 tahun dan pakar media dari Nazareth ini mengkhawatirkan berkurang drastisnya jumlah pemilih Arab.
"Orang Palestina begitu marah (pada Perang Gaza). Kami mencoba sebisa mungkin untuk tidak kehilangan suara. Saya takut rendahnya kehadiran pemilih (di bilik suara)," kata Zobi.
Sementara itu, di ketinggian bukit-bukit di Umm al-Fahm yang menjadi pusat utama gerakan Islam radikal di Israel, Dr. Afo Egbarieh menyaksikan suasana penuh tekanan di seluruh pelosok wilayah itu.
Tokoh senior Partai Hadash yang komunis itu menyatakan pemilu kali ini dibayang-bayangi oleh perang.
"Anda bisa menyaksikannya dimana-mana. Semua orang tertekan...tak peduli," kata Egbarieh yang menjadi tokoh penting keempat dalam koalisi Front Demokrasi Arab untuk Perdamaian dan Persamaan.
Front ini berjuang dibawah slogan, "Lindungi keberadaan kita, bangun masa depan kita," namun sang dokter mengkhawatirkan rakyat Arab Israel lebih memilih perang sebagai ungkapan protes, bukan berjuang melalui pemilu.
Namun itu tidak masuk akal bagi seorang Muhran Azab yang bekerja di cafe Aroma di pinggiran Kfar Qara, sebuah desa Arab yang berada 10 menit perjalanan di Umm al-Fahm.
Akankah dia memilih?
"Saya tidak sependapat. Sebelumnya saya tak pernah memilih, jadi mengapa sekarang saya harus memilih? Saya tidak mengenal orang Arab yang ada di Knesset. Saya juga tak yakin teman-teman saya bakal memilih," kata pemuda jangkung berusia 24 tahun itu. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009
Tetapi orang isreal berkeras melawan, demi patriotisme cinta tanah air, dan Hasilnya keluarga raja dan bangsawan isreal di sembelih.
Mengapa bisa, karena mereka memilih \\\"kehormatan\\\" daripada hidup yang di tawarkan Tuhan