Jakarta (ANTARA) - Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja untuk menyinkronkan kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
"Aturan itu di pusat tetapi pelaksanaan tetap di daerah. Akan tetapi, bukan menarik otonomi daerah. Adapun caranya adalah dengan OSS (Online Single Submission) sehingga pemerintah daerah dengan pusat jadi sinkron," kata Dini Purwono dalam diskusi terkait dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Gedung Sekretariat Kabinet, Jakarta, Jumat.
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS) adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
"Yang membuat orang malas untuk berinvestasi di Indonesia 'kan harus dealing ke pusat, padahal usahanya di daerah harus dua kali izin, dan terjadi ketidakpastian. Kalau di daerah sistemnya sama dengan di pusat, tidak tumpang-tindih. Jadi, menghilangkan izin tumpang-tindih," ungkap Dini.
Baca juga: Ini isi RUU Cipta Kerja
Baca juga: Membedah isi RUU Cipta Kerja
Menurut Dini, RUU Cipta Kerja ini memang bertujuan untuk memberikan kemudahan perizinan, menciptakan iklim usaha kondusif, termasuk bagi usaha kecil dan mikro.
"Narasi kalau RUU ini propengusaha banget, itu tidak karena pemerintah ingin memberikan kemudahan berusaha untuk semua investor, baik besar maupun kecil," kata Dini menandaskan.
RUU Cipta Kerja bakal menarik sejumlah kewenangan pemerintah daerah ke pemerintah pusat, antara lain terkait dengan pemberian izin rumah potong hewan dan peran pemda dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Selain itu, ada juga pasal-pasal yang bertentangan dengan konsep otonomi daerah dan ketentuan hukum lain. Misalnya, Pasal 166 menyebutkan peraturan presiden bisa membatalkan peraturan daerah (perda). Ketentuan ini bertentangan dengan putusan MK yang menyatakan kewenangan pembatalan perda ada di Mahkamah Agung.
RUU tersebut juga menyebutkan pemerintah pusat menerapkan sanski administrastif kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan jika dalam pengawsan ditemukan pelanggarn terhadap persetujuan lingkungan.
Di samping itu, juga amat banyak peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya, bahkan mencapai 439 PP, 19 peraturan persiden, dan 4 perda. Hal ini kontraprduktif dengan agenda reformasi regulasi yang sedang dilaksanakan Presiden.
Draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah diterima DPR RI sejak Rabu (12/2). Draf tersebut baru akan dibawa ke rapat pimpinan pekan ini sebelum dibawa ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
RUU ini direncanakan akan merevisi 1.244 pasal dari 79 undang-undang. Omnibus law tersebut sudah dibahas dengan 31 kementerian dan lembaga serta sudah menerima masukan dari berbagai pemangku kepentingan, seperti tujuh konfederasi buruh dan 28 serikat buruh lain.
Baca juga: Stafsus Presiden: RUU Cipta Kerja agar investor tidak pindah negara
Baca juga: KLHK optimistis Omnibus Law bisa selesaikan konflik di Tesso Nilo
Ada 11 klaster yang akan diatur dalam omnibus law tersebut, yaitu klaster penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi dan kawasan industri.
Untuk memuluskan pembahasan omnibus law, pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law yang beranggotakan 127 orang yang terdiri atas perwakilan dari kementerian atau lembaga terkait, pengusaha, akademisi, kepala daerah, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Presiden Jokowi dalam rapat terbatas pada tanggal 15 Januari 2020 menargetkan pembahasan omnibus law di DPR selama 100 hari kerja.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020