Bengkulu (ANTARA) - "Ini mungkin akan menjadi zaitun terakhir dari Mugla," kata Yusuf Santaela sebelum membuka dua plastik berisi zaitun di hadapan peserta pertemuan Climate Defenders yang digelar organisasi gerakan internasional 350.org di Curitiba, Brazil, pekan lalu.
"Setelah memakan zaitun ini, saya ingin kalian tahu bahwa secara fisik kalian telah menjadi bagian dari perjuangan warga Mugla mempertahankan tanah dan zaitunnya," katanya, lalu membagikan buah zaitun yang sudah diasinkan kepada seluruh peserta pertemuan.
Buah zaitun yang dibagikan Yusuf berasal dari kebun keluarga Tayyibe Demiral, perempuan pemimpin kelompok warga yang berjuang mempertahankan tanah dan kebun zaitun mereka dari perluasan operasi tambang batu bara untuk pembangkit listrik di Mugla, Turki.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di Yatagan adalah satu dari tiga PLTU yang sudah beroperasi selama 35 tahun di Mugla. Izin produksi listrik dari pembangkit itu seharusnya berakhir tahun 2018, namun perusahaan meminta perpanjangan izin operasi dan pemerintah memberikan pembaharuan izin setiap tahun hingga 2020.
Operasi PLTU Yatagan, yang menghasilkan daya listrik 3.780 Megawatt, membutuhkan 5,4 juta batu bara per tahun. Batu bara yang dibakar di PLTU itu dikeruk dari beberapa wilayah, termasuk Desa Turgut tempat Tayyibe dan keluarganya bermukim.
Rencana pengembangan PLTU Yatagan mengancam lahan perkebunan zaitun produktif, termasuk perkebunan zaitun yang dikelola oleh Tayyibe. Padahal, kebun zaitun warisan turun temurun itu merupakan satu-satunya sumber pendapatan keluarga Tayyibe sehari-hari.
Dalam rekaman video Yusuf yang diputar di hadapan peserta pertemuan Climate Defenders, Tayyibe mengatakan bahwa perwakilan perusahaan tambang batu bara telah mendatangi dia dan menawarkan untuk membeli lahan perkebunan zaitun miliknya. Tapi dia tegas menolak.
"Saat pihak dari Kota Mugla datang, mereka bilang jarak pertambangan dengan lahan kami seharusnya tidak boleh lewat dari 87 meter, kenyataannya penambangan membuat lahan kebun zaitun longsor sampai 100 meter," katanya lalu menambahkan, seharusnya jarak penambangan dengan lahan perkebunan zaitun milik keluarganya tidak kurang dari 250 hingga 300 meter.
Ibu satu anak itu juga menyinggung kondisi kesehatan warga di Turgut, yang dalam beberapa tahun terakhir sering menghadapi serangan penyakit pernafasan.
"Sebulan lalu kami sudah menguburkan ipar perempuan saya karena sakit asma, seluruh penduduk desa menderita karena polusi udara," katanya.
Tayyibe mengatakan bahwa proyek tambang hanya untuk memperkaya mereka yang sudah kaya dan itu sama sekali tidak sebanding dengan kehancuran alam yang terjadi di daerahnya.
Pemilik kebun zaitun lainnya, Gulseven Tasci, juga menentang perluasan tambang batu bara. Ia mengatakan perluasan tambang batu bara akan mengubur sejarah nenek moyangnya.
"Kenapa saya harus merelakan lahan untuk batu bara yang kualitasnya sangat rendah ini. Saya tidak mau," kata Gulseven.
Ia mengatakan tak sanggup memikirkan masa depan anak dan cucunya bila tanah mereka hilang tak berbekas akibat kegiatan tambang.
Gulseven dan Tayyibe juga khawatir perluasan tambang batu bara di desa mereka akan membuat warga terusir sebagaimana yang terjadi di desa tetangga Yesilbagcilar, yang separuh warganya meninggalkan desa karena lahan mereka sudah habis ditambang.
Mereka memimpin gerakan untuk mempertahankan kebun zaitun dari perluasan tambang karena mereka tak ingin bernasib sama dengan warga desa tetangga, terusir dari rumah dan tanahnya.
Krisis iklim
Kisah Tayyibe dan perjuangannya mempertahankan lahan zaitun dan mencegah kerusakan lingkungan di daerahnya diulas bersama dalam pertemuan Climate Defenders dari 5 sampai 9 Februari 2020 di Curitiba yang dihadiri perwakilan aktivis dan masyarakat adat pejuang lingkungan dari 23 negara.
Yusuf dari 350.org Turki mengatakan bahwa Tayyibe dan perempuan lain di wilayah Turgut telah beberapa kali menggelar aksi menduduki kebun zaitun untuk menyampaikan penolakan terhadap perluasan tambang batu bara di wilayah mereka.
Operasi tambang batu bara tersebut berkontribusi nyata terhadap terhadap krisis iklim. Yusuf mengutip hasil penelitian yang dipublikasi di laman Climate Action Network Europe, bahwa tiga PLTU di Mugla yang berada di Yatagan, Yenikoy, dan Kemerkoy dalam kurun 1983 hingga 2017 telah melepaskan 9,5 juta ton sulfur dioksida, 890 ribu ton nitrogen oksida, dan 28 ribu kilogram merkuri.
Menurut hasil penelitian, selama beroperasi ketiga PLTU tersebut telah membuang 360 juta ton karbon dioksida dan bila beroperasi hingga 2043 akan menghasilkan 328 juga ton CO2.
Dampaknya terhadap kesehatan tidak tanggung-tanggung. Polusi udara akibat pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik tersebut selama 35 tahun telah menyebabkan 45 ribu kematian dini.
"Tayyibe mengidap kanker paru-paru akibat buruknya polusi udara di sana dan ia tetap berjuang mempertahankan tanah, kebun zaitun dan lingkungannya dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan batu bara," kata Yusuf.
Limbah cair PLTU tersebut juga telah berdampak cagar budaya bersejarah di antara Stratonikeia dan Lagina, yang merupakan kandidat kawasan warisan dunia UNESCO.
Yusuf mengatakan bahwa menurut hasil riset ketiga PLTU di Mugla membutuhkan 300 hektare areal untuk menimbun abu bawah sisa pembakaran batu bara.
Ia menambahkan bahwa ada 21 ribu hektare lahan di Yatagan dan 23 ribu hektare lahan di Milas yang sudah dicadangkan untuk memasok kebutuhan batu bara PLTU.
Dengan kata lain, lahan yang luasnya setara 30.000 kali luas lapangan sepak bola akan dihancurkan untuk operasi tambang yang mengancam kelestarian lingkungan dan kelangsungan hidup warga desa di sekitarnya.
Baca juga:
Negara di Pasifik desak Australia berhenti menambang batu bara
Aktivis Bengkulu desak pencabutan izin operasi batu bara di hulu
Pewarta: Helti Marini S
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020