"Kalau mau menyelesaikan angka pengangguran, mau tidak mau harus ada reformasi birokrasi, ada penyederhanaan perizinan. Itu mutlak saya kira," kata dia di Jakarta, Kamis.
Hal tersebut dibutuhkan untuk memberi ruang bagi masyarakat Indonesia yang belum bekerja sehingga mereka dapat memasuki lingkungan pekerjaan sesuai dengan yang mereka butuhkan.
Ia mengatakan berdasarkan data Bank Dunia, pemerintah Indonesia dinilai sudah melakukan sejumlah reformasi kebijakan untuk memperbaiki kemudahan usaha di beberapa aspek.
"Bahkan, reformasi yang dilakukan Indonesia merupakan usaha kedua terbanyak setelah Tiongkok," ujarnya.
Baca juga: Menpan-RB paparkan lima tahap perampingan birokrasi
Baca juga: Wapres pimpin rapat Komite Pengarah Reformasi Birokrasi
Namun, walaupun sudah berusaha maksimal, reformasi kebijakan tersebut nyatanya belum bisa mendongkrak peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis.
Pada 2020, Indonesia stagnan pada peringkat 73 dari 190. Hal ini menunjukkan meskipun sudah berusaha keras dan tercatat sebagai negara dengan reformasi cukup baik, namun fakta lapangan dalam kemudahan berbisnis masih kurang dibandingkan negara lain.
Termasuk di ASEAN, Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan sejumlah negara lain di antaranya Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam yang memiliki kemudahan berbisnis lebih baik.
Secara umum Bank Dunia menyoroti peranan tenaga kerja Indonesia terkait dengan kemudahan berbisnis dibandingkan negara berpenghasilan menengah ke bawah di Asia timur dan Pasifik.
Hasilnya menunjukkan Indonesia dinilai memiliki peraturan ketenagakerjaan yang kaku terutama dalam perekrutan tenaga kerja sehingga hal ini menjadi catatan khusus bagi Indonesia.
"Saya kira laporan Bank Dunia ini harus benar-benar menjadi catatan bagi kita semua," ujar dia.
Baca juga: Wapres Ma'ruf minta perampingan birokrasi tak menimbulkan kegaduhan
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020