"Penanggulangan radikalisme sebagai bibit dari terorisme mutlak membutuhkan sinergi dari seluruh pihak," kata Kepala Badan Kesbangpol Jateng Haerudin di Semarang, Rabu.
Ia menyebutkan selain organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, serta Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, Majelis Ulama Indonesia, pihaknya juga menggandeng mantan narapidana kasus terorisme.
Dirinya mengakui strategi cegah tangkal radikalisme tidak mungkin hanya mengandalkan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), melainkan perlu upaya strategis dan sinergis untuk menanggulanginya.
Ia menyebutkan mantan narapidana teroris di Jateng pada 2019 tercatat ada 127 orang, sedangkan narapidana teroris pada 2019 tercatat ada 223 orang yang terbagi di 45 lembaga pemasyarakatan yang ada di Jateng.
"Di Jawa Tengah, ada 127 mantan napi teroris agar mereka tak kembali ke jaringan teror kita rangkul kembali mereka. Melalui penguatan wawasan kebangsaan dan nasionalisme dan reintegrasi serta pemberdayaan, bagi bekas napi teroris," ujarnya.
Ia juga meminta masyarakat untuk melakukan reintegrasi terhadap mantan narapidana karena bagaimanapun mereka tetap warga yang sudah melakukan proses hukuman dan akan kembali ke masyarakat.
Program strategis merangkul kembali mantan napi teroris, sempat pula dilakukan oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pada kegiatan silaturahmi Pemprov Jateng dengan bekas narapidana terorisme di Kota Surakarta beberapa waktu lalu.
"Terakhir, upaya cegah tangkal juga dilakukan di kalangan anak muda. Hal itu penting karena paparan radikalisme bisa menyasar lingkungan sekolah atau kampus," katanya.
Baca juga: Wapres Ma'ruf jelaskan lima kategori pelaku radikal
Baca juga: BNPT harap FKPT berfungsi maksimal cegah gerakan radikal
Baca juga: ASN berubah radikal, Tjahjo: Sulit meraba pola pikir
Pewarta: Wisnu Adhi Nugroho
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020