60-70 persen dari komponen biaya produksi diperuntukkan untuk pakan
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong pengembangan budidaya magot (belatung) dalam rangka meningkatkan produksi industri pakan perikanan yang saat ini sangat dibutuhkan mengingat masih tingginya harga pakan di berbagai daerah.
"60-70 persen dari komponen biaya produksi diperuntukkan untuk pakan. Untuk itu, BRSDM mengembangkan magot untuk menjadi salah satu bahan pakan alternatif yang cukup terjangkau dan dapat dimanfaatkan," kata Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Sjarief memaparkan pihaknya juga telah menyelenggarakan "Pelatihan Budidaya Magot sebagai Pakan Alternatif" pada 18-19 Februari 2020.
Hal itu, ujar dia, sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mendorong budidaya perikanan.
Baca juga: Menteri Edhy siap berkolaborasi tingkatkan budi daya perikanan
Pelatihan di Balai Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH) Depok, diikuti antara lain para pelatih dari 5 balai pelatihan dan penyuluhan, penyuluh, perwakilan Dinas Kelautan Perikanan, dan akademisi pendidikan kelautan dan perikanan dari berbagai wilayah di Indonesia dalam pelatihan kali ini.
Kepala BRSDM KKP menyatakan, pakan merupakan komponen penting yang menjadi kunci untuk pertumbuhan ikan. Namun saat ini, tingginya harga pakan menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pengembangan budidaya perikanan.
Magot merupakan larva berprotein tinggi yang dikembangkan dari serangga black soldier fly (BSF). Magot mengandung hingga 41-42 persen protein kasar, 31-35 persen ekstrak eter, 14-15 abu, 4.18-5.1 persen kalsium, dan 0.60-0.63 fosfor dalam bentuk kering.
"Kandungan protein tinggi yang terkandung dalam magot ini dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan sistem imun ikan," jelas Sjarief.
Baca juga: KKP apresiasi pembuatan pakan ikan berbahan baku maggot
Tak hanya itu, produksi magot memiliki keunggulan tersendiri dengan prinsip produksi tanpa limbah (zero waste) yang diusungnya. Mampu mengolah sampah organik secara alami, magot dapat mendorong penyelamatan bumi dari masalah sampah yang mengancam lingkungan saat ini.
Dengan berbagai keunggulannya, saat ini produksi magot telah dikembangkan oleh 21 perusahaan di Tanah Air. Beberapa di antaranya Leles (Garut), Great Giant Pineaple (Lampung), Pt. Maggot Indonesia Lestari (Bogor), ACEL (Tangerang), Morodasdi Farn Srengat (Blitar), dan Kampung Lala (Banyumas). Meskipun begitu, usaha budidaya magot masih memiliki potensi yang besar, terutama dengan arah prioritas pemerintah untuk mengembangkan budidaya perikanan ke depan.
Untuk itu, Sjarief mendorong agar jajaran KKP dan masyarakat luas terus mengembangkan budidaya magot di berbagai daerah.
Baca juga: KKP-FAO kerja sama produksi formula pakan ikan patin
Ia mengarahkan agar tiap kawasan membangun pusat budidaya magot yang dilakukan secara berkelompok serta bekerja sama dengan pemda setempat.
"Kenapa harus berkelompok? Karena harus ada kelompok masyarakat pengumpul sampah organik dari rumah tangga, pasar, dan sumber lainnya. Atau Dinas KP bisa bekerjasama dengan dengan pasar seperti yang sudah dilakukan oleh BRBIH Depok dengan Pemda setempat saat ini. Ini adalah kerja kelompok," ujarnya.
Baca juga: FAO apresiasi program kemandirian pakan ikan Indonesia
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020