Jakarta (ANTARA) - Peneliti The Indonesian Institute Aulia Guzasiah menilai keterlibatan publik dalam penyusunan rancangan undang-undang omnibus law masih minim, terlihat dari banyaknya naskah RUU yang tidak mengakomodasi kepentingan khalayak luas.
"Saya kira pemerintah perlu mengkaji kembali dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dan luas," kata Aulia di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, dalam prosesnya, penyusunan RUU omnibus law lebih banyak melibatkan kalangan pengusaha ketimbang elemen masyarakat, seperti ormas, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi.
Maka dari itu, dia tidak heran apabila substansi dari RUU omnibus law lebih banyak menguntungkan para pemilik modal/pengusaha, sementara di satu sisi justru menggerus hak tenaga kerja.
Baca juga: Dewan Pers ingatkan pemerintah tak buat peraturan turunan UU Pers
Baca juga: Omnibus Law salah ketik, Mahfud: Cuma satu pasal
Omnibus law, kata Aulia, bisa dibilang konsep yang sapu jagad karena bisa menyederhanakan berbagai peraturan perundang-undangan, baik secara horizontal maupun vertikal.
"Oleh karena itu, dampaknya bisa dikatakan tidak hanya menyasar substansi tertentu saja, dia memiliki dampak yang masif dan sistematis. Untuk itu, undang-undang seperti ini harus melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dan luas," kata Aulia.
Lebih lanjut Aulia juga menyinggung adanya sejumlah kelalaian dalam pembuatan naskah RUU omnibus law. Salah satunya kesalahan ketik pada Pasal 170 omnibus law cipta kerja.
Menurut dia, adanya kesalahan tersebut menunjukkan minimnya keterbukaan dan transparansi pemerintah dalam penyusunan RUU sapu jagad tersebut.
"Sejak awal penyusunan pun sebenarnya proses transparansi harus dibuka, baik dari naskah akademik maupun dari rancangan undang-undang. Akan tetapi, sayangnya hari ini tidak, malah dirahasiakan. Saya kira ada sesuatu yang perlu dicurigai di sini," ucap Aulia.
Istilah omnibus law pertama diperkenalkan Presiden Joko Widodo dalam pidato pertama setelah dilantik sebagai Presiden RI periode 2019—2024 pada tanggal 20 Oktober 2019. Istilah ini berasal dari omnibus bill yaitu UU yang mencakup berbagai isu atau topik.
Presiden Jokowi dalam rapat terbatas 15 Januari 2020 menargetkan agar pembahasan omnibus law di DPR dapat dilakukan hanya dalam 100 hari kerja.
"Omnibus law memang belum populer digunakan di sini. Akan tetapi, sudah banyak diterapkan di Amerika Serikat, Filipina, ini adalah strategi reformasi regulasi, harapannya hukum kita lebih sederhana, fleksibel, dan responsif dalam menghadapi perubahan yang terjadi," kata Presiden menjelaskan.
Baca juga: GP Ansor desak RUU Cipta Kerja dikaji ulang
Baca juga: IGJ: Pembahasan Omnibus Law perlu lebih transparan
Omnibus law tersebut direncanakan akan merevisi 1.244 pasal dari 79 undang-undang.
Omnibus law tersebut sudah dibahas dengan 31 kementerian dan lembaga, sudah menerima masukan dari berbagai pemangku kepentingan, seperti 7 konfederasi buruh dan 28 serikat buruh lain.
Ada 11 klaster yang akan diatur dalam omnibus law tersebut, yaitu klaster penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi, dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi dan kawasan industri.
Baca juga: Membedah isi RUU Cipta Kerja
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020