"Sebenarnya kan kalau info-info yang tidak resminya sebetulnya semua orang tahu semua orang dalam artian yang terkait dengan pengungkapan kasus ini tahu bahwa Nurhadi dan menantunya (Rezky Herbiyono) ada di mana," ucap Haris di gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa keduanya mendapatkan "golden premium protection" sehingga KPK menjadi "takut" untuk menangkap keduanya.
"Cuma juga mereka dapat perlindungan yang premium, "golden premium protection" yang KPK kok jadi kaya penakut gini tidak berani ambil orang tersebut dan akhirnya pengungkapan kasus ini jadi terbelangkai," ungkap Haris.
Ia pun menyebut bahwa sebenarnya KPK sudah mengetahui keberadaan Nurhadi dan menantunya tersebut. Keduanya disebut tinggal di salah satu aparteman mewah di Jakarta.
"Kalau informasi yang saya coba kumpulkan, bukan informasi resmi yang dikelurkan KPK. KPK sendiri tahu bahwa Nurhadi dan menantunya itu ada di mana, di tempat tinggalnya di salah satu apartemen mewah di Jakarta," tuturnya.
Namun, ia kembali menyatakan KPK tak berani untuk menangkap Nurhadi karena apartemen tersebut tidak mudah diakses publik dan dijaga sangat ketat.
"Tetapi KPK tidak berani untuk ngambil Nurhadi karena cek lapangan ternyata dapat proteksi yang cukup serius sangat mewah proteksinya. Artinya, apartemen itu tidak gampang diakses publik lalu ada juga tambahannya dilindungi oleh pasukan yang sangat luar biasa," ujar Haris.
Ia pun mengatakan penetapan status DPO oleh KPK terhadap Nurhadi hanya formalitas belaka. Menurutnya berdasarkan pengakuan pengacaranya, Nurhadi berada di Jakarta sehingga KPK seharusnya langsung mencari Nurhadi.
"DPO formalitas karena KPK tidak berani tangkap Nurhadi dan menantunya. Artinya, memang syaratnya sudah terpenuhi untuk di-DPO-kan tetapi kenapa tidak dicari karena ada informasinya cukup jelas bahwa pengacaranya bilang dia ada di Jakarta," ujar Haris.
KPK pada 16 Desember 2019 telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada 2011-2016.
Dalam perkara ini, Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA sedangkan Hiendra selaku Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Sebelumnya, Nurhadi juga terlibat dalam perkara lain yang ditangani KPK yaitu penerimaan suap sejumlah Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution yang berasal dari bekas Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro agar melakukan penundaan proses pelaksanaan aanmaning (pemanggilan) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL).
Nurhadi dan Rezky disangkakan pasal 12 huruf a atau huruf b subsider pasal 5 ayat (2) lebih subsider pasal 11 dan/atau pasal 12B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Hiendra disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b subsider pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Baca juga: KPK masukkan mantan Sekretaris MA NHD dalam status DPO
Baca juga: Mantan Sekretaris MA DPO, Maqdir Ismail: Tindakan berlebihan
Baca juga: KPK bantah status DPO terhadap Nurhadi tindakan berlebihan
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020