Jakarta (ANTARA) - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengakui ada kesalahan ketik dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Dalam Bab XIII Ketentuan Lain-lain Pasal 170 Ayat (1) dan Ayat (2) disebutkan bahwa (1) Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan UU ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam UU yang tidak diubah dalam UU ini. (2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

"Ya, tidak bisa dong PP melawan UU, peraturan perundang-undangan itu, saya akan cek, nanti di DPR akan diperbaiki mereka bawa DIM (daftar isian masalah) untuk itu, gampang itu, teknis," kata Yasonna di lingkungan Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Senin.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15/2019, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan urutan dari yang tertinggi adalah UUD.

Selanjutnya, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR), undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), peraturan daerah (perda) provinsi, dan perda kabupaten atau kota.

"Artinya, tidak mungkin PP mengubah UU, seperti dalam Bab XIII Pasal 170 RUU Cipta Kerja," kata Menkumham.

Baca juga: Pimpinan DPR: PP tidak bisa ubah UU

Baca juga: Anggota DPR RI soroti penyusunan omnibus law

Ia melanjutkan, "Itu 'kan jadi memang melihat segala sesuatu harus, tidak mungkin 'kan sekonyol itu dong, nanti kita lihat. Itu mungkin kesalahan, perundang-undangan maksudnya itu bukan undang-undang, maksudnya perda dicabut dengan PP, jadi perda harus tunduk tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang ada di atasnya." Yasonna.

Yasonna pun hanya berjanji akan mengecek lagi naskah yang sudah diserahkan ke DPR pada tanggal 12 Februari 2020.

"Jadi, dalam hal ini perda tidak boleh melawan peraturan presiden atau peraturan pemerintah dong, kalau tidak sesuai bisa dibatalkan melalui perundang-undangan juga. Sama dengan omnibus law membatalkan beberapa perundang-undangan, sah-sah saja," ungkap Yasonna.

Terlepas dari sejumlah kesalahan ketik, RUU Cipta Kerja itu juga ditolak oleh serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Keberatan mereka, antara lain pertama penolakan terhadap skema pengupahan yang disebutkan dalam RUU tersebut meniadakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan menjadikan UMP sebagai satu-satunya acuan besaran nilai gaji.

Keberatan kedua adalah besaran pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) berkurang, bahkan karena penggunaan pekerja outsourcing (alih daya) dan pekerja kontrak seumur hidup tidak mendapatkan pesangon.

Baca juga: Ridwan Kamil undang wali kota/bupati bahas Omnibus Law

Ketiga, RUU tersebut menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan, menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b).

Keempat, RUU Cipta Kerja juga menghapus pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur tentang pekerja outsourcing sehingga menjadikan nasib pekerja alih daya makin tidak jelas.

Kelima, RUU tersebut menjadikan pengusaha dapat mengontrak seorang pekerja seumur hidup karena menghapus ketentuan Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), di antaranya berisi ketentuan PKWT hanya boleh dilakukan paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020