Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan Komisi II menggelar rapat dengar pendapat umum terkait jumlah tenaga honorer yang sudah terlalu banyak.
Ia berpendapat bahwa 'gemuknya' jumlah tenaga honorer ditambah kriteria usia maksimal dalam persyaratan seleksi CPNS menyebabkan persoalan di hilir birokrasi semakin rumit (complicated).
"Ini kan masalah memang agak complicated ya. Jumlahnya sudah terlalu banyak, mereka juga sudah umurnya kalau diikutkan seleksi juga sudah tidak memenuhi syarat, karena syaratnya kan maksimal 35 tahun," kata Doli di Jakarta, Senin.
Baca juga: DPR: Revisi UU ASN bagian dari rencana penguatan hulu birokrasi
Baca juga: Komisi II DPR undang tiga profesor dalam RDPU terkait revisi UU ASN
Oleh karena itu, DPR RI harus segera merumuskan solusi bagaimana mengikutsertakan honorer yang sudah tidak memenuhi kriteria usia maksimal dalam Seleksi ASN mendatang.
Solusi itu pun dibahas dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi II DPR RI hari ini.
RDPU Komisi II DPR RI tersebut mengundang tiga orang profesor untuk memperdalam materi antara lain Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, Guru Besar Ilmu Administrasi Publik Universitas Gajah Mada (UGM) Miftah Thoha, dan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (UI) Eko Prasojo.
Narasumber tersebut ikut memaparkan sejumlah pandangannya terkait usulan solusi yang bisa menyelesaikan persoalan itu.
Doli mengatakan ada usulan memakai standar kompetensi honorer.
Namun ada yang berpendapat, kalau memakai standar kompetensi masih terlalu sulit untuk dipenuhi tenaga honorer.
"Kalau kita ikutkan dia (honorer) berdasarkan kompetensi mungkin agak sulit karena standarisasinya sudah terlalu tinggi. Yang sederhana saja misalnya soal umur, mereka sudah enggak lolos begitu," kata Doli.
Doli menyebut ada usulan lain yaitu memakai standar berbasis kinerja sebagai syarat mengikutsertakan honorer dalam seleksi ASN.
"Nanti mungkin bisa dinilai kinerjanya," kata Doli.
Namun, standar kinerja perlu dukungan dari pemerintah terutama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk melakukan pemetaan.
"Berapa kita butuhkan sebagai tenaga guru di pedesaan, tenaga kesehatan di Puskesmas, segala macam begitu. Nah, Ketika kita sudah mempunyai pemetaan kebutuhan seperti itu, bisa kita lihat dari 439.000 tenaga honorer yang statusnya belum jelas, bisa kita seleksi berbasis kinerja mereka," kata Doli.
Kalau memang kinerja terbukti bagus, maka honorer tersebut bisa di-ASN-kan untuk kemudian didistribusikan ke tempat-tempat yang masih membutuhkan, demikian penjelasan Doli.
Baca juga: Legislator: Gaji guru honorer tidak hanya dari BOS
Baca juga: Dana BOS bukan solusi kesejahteraan honorer, sebut JPPI
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020