Jangan lagi sekedar melihat legalitas sajaJakarta (ANTARA) - Pelaku pasar di Indonesia mengimbau investor untuk mencermati proses investasi dari manajer investasi untuk menghasilkan kinerja aman sebelum memutuskan untuk menempatkan dana berkaca dari kasus asuransi Jiwasraya.
"Jangan lagi sekedar melihat legalitas saja. Biasanya masing-masing manajer investasi punya proses investasi yang berbeda, ada yang longgar, ada yang ketat," kata Head of Investment Spesialist PT Manulife Aset Management Indonesia Freddy Tedja dalam Economic Outlook Bank Standard Chartered Indonesia di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Manajer investasi: Pasar saham dan obligasi Indonesia masih menarik
Ia mengimbau para investor untuk mengenal manajer investasi agar tidak salah menempatkan dana dengan risiko tinggi karena tata kelola manajer investasi yang buruk.
Dia menjelaskan bagi manajer investasi yang menerapkan proses investasi ketat, maka emiten atau perusahaan yang melantai di bursa akan disaring.
"Di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ada 640 emiten, itu disaring dengan minimum kapitalisasi pasar mencapai Rp1 triliun.
Setelah itu, emiten akan dianalisis oleh analis internal manajer investasi dan eksternal atau broker.
Setelah dilakukan analis, jumlah tersebut bisa mengerucut menjadi 80-100 emiten.
"Hal seperti itu yang anda harus tanyakan sebelum memutuskan investasi dan biasanya semakin ketat proses investasinya, imbal hasil pun tidak akan spektakuler karena kami tidak ada saham gorengan yang kemarin bermasalah," katanya.
Berkaca dari kasus gagal bayar perusahaan asuransi, Freddy menjelaskan perusahaan manajer investasi saat ini lebih mengedepankan tata kelola, proses investasi dan kepatuhan.
Pengelolaan dana investasi oleh manajer investasi yang berkinerja buruk akan mempengaruhi kondisi keuangan investor, seperti yang menimpa asuransi Jiwasraya.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut potensi kerugian negara dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) hingga Agustus 2019 diperkirakan mencapai Rp13,7 triliun.
Potensi kerugian itu timbul karena adanya tindakan melanggar prinsip tata kelola perusahaan menyangkut pengelolaan dana yang dihimpun melalui program asuransi saving plan.
Jiwasraya, ungkap dia, melanggar prinsip kehati-hatian dalam melakukan investasi pada aset yang berisiko tinggi untuk mengejar keuntungan tinggi pula.
Investasi asuransi BUMN itu di antaranya penempatan saham sebanyak 22,4 persen senilai Rp5,7 triliun dari aset finansial.
Dari jumlah itu, lanjut dia, sebesar 5 persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik dan 95 persen ditempatkan di saham yang berkinerja buruk.
Selain itu, korporasi juga berinvestasi di reksadana sebanyak 59,1 persen persen senilai Rp14,9 triliun.
Dari jumlah itu, sebanyak dua persen dikelola manajer investasi Indonesia berkinerja baik dan 98 persen dikelola manajer investasi berkinerja buruk.
Akibatnya, lanjut dia, asuransi Jiwasraya saving plan mengalami gagal bayar terhadap klaim jatuh tempo nasabahnya.
Baca juga: Manajer investasi selektif berinvestasi pada saham yang baru IPO
Baca juga: Perusahaan manajer investasi Ashmore resmi melantai di bursa
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020