Jakarta (ANTARA) - Mungkin masih ingat peristiwa supir taksi pengemudi taksi yang mengakhiri hidupnya di kamar indekosnya di Jalan Mampang Prapatan VII, Tegal Parang, Jakarta Selatan, setelah terjerat utang dari salah satu perusahaan pinjaman daring.
Pinjaman daring memang merupakan solusi untuk mendapatkan dana tunai secara mudah terutama di Kota Jakarta yang memiliki perputaran ekonomi demikian cepat, namun patut diingat penggunaannya harus dilakukan secara bijak.
Misalnya saja seorang pedagang melihat ada barang yang bakal laku dijual namun tidak punya modal, maka pinjaman itu dapat menjadi solusi. Ketika modal sudah kembali tinggal dibayar utangnya, maka sudah mendapat untung dari dagangannya.
Solusi "pinjaman instan' ini yang membuat marak di kalangan masyarakat terutama pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Tatkala perbankan membutuhkan syarat yang ketat dan proses yang lama, maka model ini bisa menjadi terobosan untuk menjalankan usaha.
Butuh modal Rp500 ribu sampai Rp5 juta dengan hanya berbekal KTP maka dana itu sudah dapat dicairkan. Meskipun tidak langsung cair tetapi tetap butuh verifikasi, namun tidak berlangsung lama apalagi kalau rekam jejak bersih.
Baca juga: YLKI minta masyarakat bijak manfaatkan pinjaman online
Namun tidak semua masyarakat memanfaatkan pinjaman ini secara bijak. Masih banyak ditemukan mereka yang memanfaatkannya untuk tujuan konsumtif misalnya untuk menutup pinjaman sepeda motor. Akibat saat jatuh tempo mereka kebingungan untuk membayarnya.
Kemudian yang juga banyak dikeluhkan soal penarikan pinjaman (collection) saat menunggak yang dinilai terlalu berlebihan. Salah satunya, kasus yang menimpa pengemudi taksi yang mengakhiri hidupnya tersebut.
Regulasi
Untuk dapat sukses menjadi Indonesia Maju di era digital saat ini, regulasi yang mendukung bisnis sangat diperlukan. Agar dapat terus bertahan dan berkembang, kalangan bisnis juga harus merangkul kemajuan teknologi yang berjalan dengan cepat.
Soal regulasi ini juga menyeruak dalam seminar bertemakan “Legal and Business in Digital Economy Era” yang diselenggarakan oleh Forum Doktor Multidisiplin (FDM) di Jakarta belum lama ini.
Seminar yang dihadiri 40 (empat puluh) orang bergelar doktor dari berbagai disiplin ilmu yang datang dari berbagai kalangan mulai dari akademisi, peneliti, konsultan, praktisi, profesional dan pengusaha, baik dari pemerintahan, perguruan tinggi, BUMN, BUMS, profesi mandiri, sampai media itu, sepakat soal dukungan regulasi.
Ketua FDM Suhardi Somomoeljono, yang sehari-hari berprofesi sebagai pengacara, menyampaikan pandangannya bahwa dalam sektor bisnis apa pun maka regulasi yang mendukung adalah hal utama, termasuk di era digital seperti sekarang ini.
Dijelaskannya bahwa definisi hukum dan bisnis dalam era digital adalah peraturan perundang-undangan yang diberlakukan atau dibentuk oleh pemerintah untuk mengatur dunia perdagangan dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi komputer.
Menurutnya juga, untuk kepastian hukum dan lain-lain maka ekonomi digital perlu diatur dengan baik lewat regulasi. Pengaturan yang baik itu juga demi perlindungan data pribadi, investasi dari domestik/asing, pendapatan negara (pajak), perlindungan konsumen, dan lain-lain. Contohnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PPSE)
Suhadi menjelaskan dalam ekonomi digital, data konsumen mudah tersebar dan dipakai untuk penawaran produk dan lain-lain serta ada banyak contoh lain, maka negara perlu hadir dalam ekonomi digital.
Sayangnya, dia melanjutkan, regulasi di Indonesia masih banyak yang saling berbenturan. Namun, dia optimis dengan omnibus law yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah dan DPR dapat menjadi solusi dari kondisi itu.
Baca juga: Pinjaman "online" ilegal layani ratusan ribu nasabah
Omnibus law memang disediakan untuk membenahi regulasi yang saling berbenturan. Dengan catatan tujuan ideal yang hendak dicapai ditegaskan dalam definisi dan konsep yang jelas terkait dengan sasaran target yang terukur dengan frame nilai-nilai keadilan yang mengedepankan kepentingan rakyat Indonesia.
Intinya, hukum ada dalam perkembangan bisnis di era digital dalam rangka “memfasilitasi” dan “mengatur” transformasi bisnis konvensional menjadi bisnis digital.
Rangkul tekfin
Sedangkan Yunisyaaf Yunisyaaf Y. Arif menyoroti tentang perkembangan teknologi finansial (tekfin) di era digital. Pakar perbankan ini mengimbau, perbankan jangan menghindari tapi harus merangkulnya. Bank dan tekfin memiliki segmen dan keunggulan masing-masing.
Bank memiliki sistem yang "prudent" atau prinsip kehati-hatian yang tinggi, sehingga tingkat kredit macetnya dapat dikendalikan. Namun dengan semakin tumbuh dan berkembangnya model bisnis di era digital, maka bank perlu melakukan penyesuaian sehingga dapat lebih cepat tanggap dengan tingkat akurasi yang lebih baik dalam melakukan penilaian kelayakan aplikasi pinjaman maupun profil calon nasabah. Kecepatan respon sangat diperlukan untuk akselerasi keputusan kredit.
Menurut Yunisyaaf, bank perlu berkolaborasi yang baik dengan tekfin yang memiliki kelebihan. Pertama, tekfin memiliki tingkat jangkauan data yang lebih luas dengan tingkat pemrosesan aplikasi pinjaman yang lebih cepat dan akurat. Tekfin memiliki keunggulan tingkat fleksibilitas layanan yang tinggi dan cepat serta tingkat jangkauan nasabah yang lebih luas.
Kedua, bank juga secara tidak langsung dapat memanfaatkan tekfin sebagai front-liner (saluran) maupun back office yang handal yang memiliki kemampuan kecepatan melakukan proses yang tepat dan cepat.
Bahkan dalam hubungan kerja sama antara bank dan tekfin, bank bisa berperan sebagai “super-lender” yaitu sebagai sumber dana. Sehingga bank bisa sekaligus memperluas jaringan dan jangkauannya di seluruh Indonesia atau bahkan hingga ke luar negeri.
Baca juga: PPATK targetkan peraturan fintech wajib lapor bakal selesai 2020
Kolaborasi antara tekfin dan perbankan diharapkan menjadi kombinasi antara kecepatan menyalurkan kredit dengan prinsip kehati-hatian, apalagi OJK saat ini sudah memasukkan ke dalam daftar perusahaan daring legal yang dapat dimanfaatkan masyarakat.
Sehingga kisah-kisah seperti dialami pengemudi taksi sampai terjebak kredit daring tidak terjadi kembali, namun masyarakat tetap diminta bijak untuk memanfaatkannya, salah satunya benar-benar dipergunakan untuk modal usaha.
Prinsipnya jujur terhadap kita sendiri atau kepada pemberi pinjaman. Benarkah dana itu benar-benar akan dimanfaatkan, serta hasilnya memang sesuai harapan dan jauh dari risiko gagal?
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020