Jakarta (ANTARA) - Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah, mengatakan, opsi terbaik adalah tidak memulangkan warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan kelompok radikal di luar negeri, meski harus ada pertimbangan lain dalam sisi hak asasi manusia (HAM).
"Opsi terbaik adalah tidak memulangkan mereka. Tetapi atas nama kemanusiaan dan perlindungan HAM, negara seharusnya memberikan prioritas memahami kelompok rentan anak-anak dan perempuan," kata dia, ketika dihubungi di Jakarta, Senin.
Baca juga: Pulangkan WNI eks-ISIS, Pengamat sebut pemerintah gegabah
Sebelumnya, muncul wacana untuk mengembalikan WNI yang pernah bergabung dengan ISIS dan sekarang tinggal di penampungan yang berada di Suriah dan Irak.
Pada sisi lain, pasal 23 huruf d dan huruf f menyatakan tentang hal-hal yang membuat status kewarganegaraan seorang WNI otomatis gugur, yaitu terkait bergabung dengan ketentaraan asing tanpa ijin presiden dan mengangkat sumpah setia kepada unsur asing.
Baca juga: DPR: Kita masih mengacu UU Nomor 12/2006 soal eks ISIS
Pula fakta menyatakan bahwa beberapa kali perempuan menjadi pelaku utama aktivitas teror, di antaranya bom bunuh diri melibatkan seorang ibu dengan anak-anaknya yang masih di bawah umur di Surabaya, pada Mei 2018. Diketahui kemudian bahwa perempuan itu bernama Puji Kuswati (43) yang mengajak dua putrinya berinisial Famela Rizqita (9) dan Fadhila Sari (12).
Perempuan ini menjadi bagian dari jaringan teror bom bunuh diri oleh sekeluarga, karena suaminya, Dita Oepriarto (48), dan anak-anaknya, Yusuf Fadhil (18), Firman Alim (16), Rizqita dan Sari, juga turut.
Baca juga: Ganjar tidak takut disebut melanggar HAM karena tolak kepulangan ISIS
Menurut BNPT terdapat 600 orang yang mengaku WNI yang kini ditahan di luar negeri karena mereka tergabung dengan ISIS. Meski mereka menyatakan itu, namun status kewarganegaraan mereka belum terverifikasi.
Di antara negara-negara yang sudah jelas mencabut kewarganegaran warganya karena tergabung ISIS dan organisasi afiliasinya adalah Jerman, walau pemerintah negara Eropa Barat itu dicurahi banyak pertanyaan dari kalangan internasional. Baca juga: Peneliti: Wacana pemulangan eks-ISIS bisa perkuat kontra radikalisasi
Pemerintah Indonesia, sampai saat belum mengambil keputusan apapun terkait wacana pemulangan anggota ISIS asal Indonesia itu meski beberapa menteri --di antaranya Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD-- mengatakan secara pribadi tidak menyetujui wacana yang menimbulkan polemik itu.
Baca juga: Peneliti: Wacana pemulangan eks-ISIS bisa perkuat kontra radikalisasi
Menurut Ruby, jika memang wacana tersebut dilanjutkan perlu ada penilaian atau assessment secara sangat ketat untuk orang-orang itu dan lebih baik memprioritaskan kaum rentan seperti anak-anak.
Hal itu dikarenakan negara wajib memberikan perlindungan kepada anak-anak, berdasarkan UU Perlindungan Anak. Skenario terbaik dari yang terburuk adalah memulangkan anak-anak yang biasanya dibawa oleh orang tuanya.
Baca juga: ISIS penggal 10 tawanan Kristen di Nigeria
Selain itu dalam kewajibannya untuk melindungi warga negara dan alasan HAM, pemerintah mungkin bisa mempertimbangkan mereka yang bukan kombatan, baik perempuan dan anak-anak, dalam wacana pemulangan tersebut, kata Rubi.
"Maka dari itu penerimaan sangat minim itu harus diikuti dengan penguatan infrastruktur pemulangan," kata perempuan yang pernah masuk daftar 100 perempuan dunia berprestasi versi BBC pada 2014 itu.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020