Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta mematok kurs mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) guna mengatasi dampak krisis ekonomi global saat ini dan meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia, kata pegamat ekonomi Hartojo Wignjowijoto. "Pematokan kurs rupiah atas dolar AS dapat dlakukan karena Indonesia memiliki sumbedaya alam melimpah, seperti tamas emas dan tembaga terbesar di dunia, dan penghasil gas bumi 40 persen di dunia," katanya dalam Diskusi Akhir Tahun tentang Evaluasi Kebijakan Ekonomi Pemerintahan SBY-JK, di Jakarta, Senin sore. Menurut Ketua Lembaga Studi Kapasitas Nasional (LSKN) itu, pematokan kurs seperti 1 dolar AS sama dengan Rp1000, telah diusulkan 10 tahun lalu saat Indonesia terkena krisis ekonomi tahun 1998, namun pemerintah tidak menanggapinya, sehingga saat Indonesia terkena dampak krisis ekonomi 2008, pemerintah dan masyarakat "kebingungan". Dengan mematok kurs rupiah, seperti diterapkan di negara-negara Amerika Selatan, relatif mereka memiliki daya tahan menghadapi krisis dan dapat menghindari pinjaman seperti ditawarkan lembaga keuangan dunia dalam mengatasi krisis ekonomi saat ini. Hartojo mengusulkan, pemerintah harus memperkuat cadangan devisa negara dengan memaksimalkan pendapatan negara dari potensi sumber daya alam (SDA) seperti temaga, emas, gas bumi, batubara, hasil pertanian, perkebunan dan kelautan. Bank Indonesia (BI) juga harus menurunkan tingkat suku bunga perbankan. Pemerintah pemerintah terus memperkuat nilai rupiah dan daya beli masyarakat dengan meningkatkan kapasitas produksi, lapangan pekerjaan dan kearifan lokal, yaitu meningkatkan pendapatan dari pajak untuk memenuhi kebutuhan pelayanan masyarakat seperti air bersih, telepon, listrik, kesehatan, pendidikan dan bahan makanan, serta meningkatan pembangunan infrastruktur di luar Jawa dan gerakan kembali membangun desa. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak hanya mengandalkan pendapatan ekspor yang nilainya hanya 30 persen, tetapi mampu memperkuat daya beli domestik yang memilki pasar 70 persen, sehingga mampu memeperkuat fondasi ekonomi domestik Indonesia. Sementara itu, Henry Sapartini dari Tim Indonesia Bangkit menyoroti ketidak-konsistenan tim ekonomi pemerintah dalam memprediksi pertumbuhan ekonomi, seperti revisi pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2008, yakni dari 6,8 persen menjadi 6,4 persen menjadi 6,2 persen dan untuk APBN 2009 mejadi 5,5 persen. Selain itu, Sapartini juga menilai kurang berpihaknya tim ekonomi pemerintah pada kebijakan ekonomi yang berorietasi kepada kepentingan nasional dan rakyat banyak, antara lain mengatasi dampak krisis global hanya menekankan pada sektor finansial, seperti anggaran Rp24 triliun hanya membeli kembali (buyback) saham BUMN. Dia mengaharapkan, agar pemerintah mengedepankan kebijakan ekonomi yang mendahulukan kepentingan rakyat banyak, seperti pembuatan infrastruktur yang dapat membuka lapangan pekerjaan dan menghindari mencari penjaman IMF dalam mengatasi krisis ekonomi global saat ini. Pengamat ekonomi dari Indef M Fadhil Hasan menilai, pertumbuhan ekonomi dan indikator kemiskinan pada pemerintah terlihat flukuatif atau naik turun, karena kebijakan yang diambil kurang hati-hati dan kebablasan. Dia berpendapat, kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tahun 2005 hingga 126 persen dinilai kurang tepat, karena mengakibatkan naiknya angka kemiskinan menjadi 17,6 persen pada periode berikutnya dari sebelumnya 15,9 persen. Angka kemiskinan 2005 mencapai 15,9 persen, 2006 sebesar 17,6 persen, 2007 sebesar 16,4 persen, dan hingga Maret 2008 sekitar 15,4 persen atau sampai Maret 2008 terdapat 34,9 juta jiwa penduduk Indonesia dalam kelompok miskin.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008