Magelang (ANTARA) - Seniman patung dari lereng Gunung Merapi, Ismanto, menempatkan karya berjudul "Kembali ke Hati" di tengah panggung terbuka Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dalam rangkaian peringatan setahun Museum Lima Gunung di kompleks itu.
Sesi itu didahului dengan performa gerak "Umbul Donga" oleh sekelompok seniman Lima Gunung lainnya dari Merapi, dipimpin Sitras Anjilin, untuk mengenang 40 hari wafat Suprapto Suryodarmo (74), budayawan dan pengelola Padepokan Lemah Putih, Kabupaten Karanganyar.
Semasa hidupnya, Mbah Prapto (panggilan akrabnya) turut aktif menebarkan spiritualitas kehidupan dusun-dusun, tempat hidup sehari-hari para seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, kepada para murid olah gerak tubuh dan spiritual, baik dari dalam maupun luar negeri, yang dikelolanya.
Patung batu dari Gunung Merapi setinggi sekitar satu meter karya Ismanto, berupa tubuh manusia berotot, tanpa raut wajah, tetapi bagian dada berupa rongga yang dimaksudkan sang pematung sebagai "hati yang terbuka".
"Kehidupan dirasakan serba carut-marut, ucapan, pikiran, dan tindakan terasa tidak 'nyambung', menjadi ruwet. Sandarannya kepada hati. Semestinya setiap orang kembali ke hati," kata Ismanto ketika menjelaskan karyanya itu yang menambah koleksi Museum Lima Gunung.
Di museum itu dipajang ratusan koleksi berbagai ragam karya seni, termasuk buku-buku tentang Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh). Berbagai koleksi tersebut, simbol ingatan gerakan kebudayaan yang dilakoni komunitas yang dirintis budayawan Sutanto Mendut sejak lebih dari 20 tahun lalu.
Museum yang dibuka secara resmi, saat Subuh, melalui pementasan kesenian dan pidato kebudayaan oleh sejumlah tokoh, setahun lalu (5 Februari 2019) itu, juga digagas Tanto Mendut bersama para petinggi komunitasnya.
Lokasi museum di bawah panggung terbuka kompleks Studio Mendut, sekitar 100 meter dari Candi Mendut itu, ada kolam ikan kecil di bagian tengah, sedangkan luasnya sekitar 100 meter persegi.
Peringatan setahun Museum Lima Gunung bertepatan dengan ulang tahun ke-66 Tanto Mendut, Rabu (5/2), sejak siang hingga menjelang tengah malam, ditandai pementasan beberapa kesenian, termasuk wayang kulit pakeliran padat lakon "Bimo Bothok" dengan dalang Ki Marno Bagong (Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor), ritual tari spiritual, dan pameran seni rupa. Hadir pula, para seniman, tokoh, legislator, akademisi, penulis, wartawan, dan budayawan.
Pada sesi diskusi budaya dan sejarah dengan moderator Tanto Mendut, sejumlah narasumber, antara lain GBPH Prabukusumo (adik Sultan Hamengku Buwono X), K.H. Abdul Muhaimin (tokoh pluralisme dan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogyakarta), Purwadi (dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Negeri Yogyakarta), dan Achmad Charris Zubair (dosen Fakultas Filsafat UGM dan Ketua Dewan Kebudayaan Yogyakarta).
Ungkapan hati tersampaikan ketika seniman topeng, Khoirul "Iroel" Mutaqin (30), memeluk Tanto Mendut pada pembukaan pameran karyanya dalam rangkaian peringatan setahun Museum Lima Gunung. Tanpa kata-kata, air mata yang menetes segera dilapnya.
Pria yang hanya lulusan sekolah dasar itu, teringat ketika beberapa tahun lalu, memulai jalan hidupnya sebagai seniman dengan berlatih membuat topeng di Studio Mendut selama tiga bulan.
Ratusan karya Iroel yang tinggal di Bandongan, Kabupaten Magelang, terpampang di studio tersebut, selain order berdatangan dari para penari dan kolektor topeng dari sejumlah kota. Ia juga merambah sebagai seniman instalasi panggung untuk berbagai pementasan kesenian, kirab budaya, dan hajatan pernikahan. Karya instalasinya, terutama berbahan baku alam.
Di tengah-tengah semarak peringatan setahun Museum Lima Gunung, sosok lainnya yang pemudi berjilbab hitam mewujudkan ungkapan hatinya melalui ketekunan menyimak rangkaian acara, dan sesekali bersama lainnya membantu melayani jamuan makanan ala desa kepada para tamu.
Dia adalah Atika Sekar. Ketika banjir lahar hujan dari Gunung Merapi melewati Kali Putih dan menerjang dusunnya di Sirahan, Kecamatan Salam pada 2011, ia bersama orang tua dan warga lainnya mengungsi ke lokasi pengungsian tak jauh dari Studio Mendut.
Ia berjumpa dengan Komunitas Lima Gunung melalui pementasan korban erupsi dan banjir lahar hujan Merapi, diinisiasi Arswendo Atmowiloto (almarhum), dalam karya teater anak berjudul "Merapi Masih Tersenyum" pada 18 Juni 2011.
Dari situlah ia kemudian tinggal di Studio Mendut, beroleh kesempatan membacakan karya-karya puisinya dalam berbagai pementasan bersama Komunitas Lima Gunung di daerah itu maupun di beberapa kota besar.
Melalui Komunitas Lima Gunung, Atika beroleh bapak asuh, Tanto Mendut, untuk melanjutkan sekolah hingga lulus Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, Universitas Negeri Yogyakarta, beberapa tahun lalu. Kini ia sedang menjalani tahapan seleksi pegawai negeri sipil dengan pilihan menjadi guru di SMP Negeri 1 Kota Magelang, sembari masih bekerja di salah satu usaha bazar buku di berbagai kota di Indonesia.
"Tidak menyana, saya yang anak Sirahan ini sampai bisa lulus sekolah, kuliah, dan bekerja," ucap Atika yang ibunya sebagai orang tua tunggal, bekerja sehari-hari di usaha pembuatan makanan tradisional, seperti kerasikan, jenang dodol, wajid bandung, dan permen tape di dusunnya.
Sujono juga hadir di acara setahun Museum Lima Gunung berseragam kepala desa dengan baju putih lengan panjang, celana hitam, sepatu pantofel mengilat, dan emblem kades di dadanya. Seorang kepala dusun diajaknya hadir dengan berpakaian serupa, seragam perangkat desa.
Belum lama, Sujono yang pensiunan tentara lalu berkiprah di Komunitas Lima Gunung, dengan menghidupkan kesenian tradisional Goh Muko melalui Sanggar Batara Dusun Jurang, Desa Bandongan itu, terpilih masyarakatnya sebagai kepala desa setempat.
Kali ini, ia dengan anggota sanggarnya yang kalangan remaja putra dan putri, menyuguhkan karya tarian berjudul "Maeso Suro" dengan sejumlah gerakan penari dan tabuhan pengiringnya mirip tarian grasak, soreng, dan topeng ireng.
"Ada pelajaran dan semangat (Komunitas, red.) Lima Gunung membawa saya sampai jadi kades," ucapnya.
Cukup banyak catatan dan ingatan kisah hidup lainnya yang berkelindan dengan Komunitas Lima Gunung, seperti kondangnya dalang muda Sih Agung Prasetyo melalui wayang serangga karya perupa Jono Keron dan keberhasilan Joko Aswoyo, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, meraih gelar doktor melalui tesisnya tentang komunitas itu yang kemudian menjadi buku "Sumpah Tanah".
"Sedang merencanakan bikin buku lagi, masih banyak bahan," kata Joko Aswoyo.
Selain itu, Riyadi yang tak bisa menari dan memainkan perangkat musik, namun memimpin kelompok kesenian warga desanya, dan bahkan membangun Padepokan Warga Budaya Gejayan, sekaligus pemasok sayuran berkualitas untuk sajian para tamu salah satu hotel di Kota Magelang, serta Ismanto sendiri yang selama beberapa tahun pernah tak aktif di komunitas, setelah melepaskan jabatan sebagia ketua, namun melalui pergulatan hidupnya, lalu kembali menjalani kesenimanan di Komunitas Lima Gunung.
Pertemuan manusia
Berulang kali budayawan Tanto Mendut menyampaikan bahwa komunitas yang dihidupinnya, saat ini bukan lagi sebatas aktivitas berkesenian dan menjaga tradisi dan budaya lokal, tetapi sebagai pertemuan manusia dengan berbagai ragam nilai dan kisah kehidupan, pencarian pencerahan atas kecamuk persoalan, serta capaian hidup yang disyukuri.
Museum Lima Gunung menjadi bagian penting dari ungkapan syukur atas segala hal yang dirasakan, dibicarakan, dikerjakan, dan dikonfirmasi ke suara hati setiap orang dalam semangat pergaulan Komunitas Lima Gunung.
"Ada 'kegelisahan' yang membuat komunitas ini terus bergerak, pertemuan-pertemuan kami membicarakan apa saja, termasuk 'nggelendhengi' (merumpi), rapat-rapat orang-orang cerigis yang menggembirakan," ujar Tanto yang pada awal Maret mendatang, selama sekitar dua minggu, menjalani undangan Universitas Melbourne Australia untuk mengajarkan tentang manajemen desa dan Komunitas Lima Gunung.
Selama belasan tahun, ia juga menjadi dosen tamu di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dalam berbagai perbincangan serta pidato kebudayaan, sosok Tanto Mendut terkesan omong ngawur dan bahkan sarkastis, namun juga mengundang tawa serta aplaus.
Dalam ruang lingkup lebih luas, kisah suara hati dan kepahlawanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1912-1988), oleh Prabukusumo pada kesempatan itu seolah-olah dimasukkan menjadi koleksi ingatan teranyar Museum Lima Gunung.
Sultan, disebut dia, sebagai orang unik di dunia. Dalam kedudukannya sebagai raja, HB IX mendukung berdirinya Republik Indonesia, pernah menjadi menteri, wakil presiden, dan beroleh pangkat jenderal.
Baca juga: Dengung panjang tari Soreng Kabupaten Magelang
Bersama Sri Pakualam VIII (Pura Pakualaman Yogyakarta), pada 5 September 1945, ia menyatakan Yogyakarta sebagai wilayah pertama RI. Ketika pusat pemerintahan RI muda dipandang perlu dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946, biaya pemerintahan RI dikeluarkan Keraton Yogyakarta, termasuk sejumlah aset keraton untuk tempat tinggal para menteri, sedangkan uang Keraton sekitar delapan juta Gulden disumbangkan untuk modal kemerdekaan kepada Soekarno (Bung Karno) yang kemudian menjadi APBN pertama RI.
Sebagai sosok kuat dan berkuasa, Sultan HB IX melepas ego untuk ruang dan waktu yang lebih luas, yakni Republik Indonesia. Ia juga menolak sebagai raja sejawa karena tidak ingin merendahkan keraton-keraton lainnya di Nusantara.
Maka, hal tak wajar ketika saat ini bermunculan kerajaan-kerajaan dengan sosok-sosok petingginya seakan-akan menggenggam kekuasaan feodal, mengklaim dunia modern, mutakhir, dan bahkan global berada di bawah genggaman kekuasaannya.
"Itu hampir sebagian besar untuk penipuan, keturunannya (raja, red.) juga tidak jelas. Maka sebaiknya keraton-keraton nggak bener itu segera membubarkan diri, minta maaf kepada masyarakat. Masyarakat juga jangan mudah percaya pada iming-iming yang tidak logis," ujarnya.
Baca juga: Menyapa calon kades agar siap berangkulan
Begitu juga dengan krisis arsitek budaya Indonesia saat ini, yang disampaikan Abdul Muhaimin melalui diskusi tersebut, seakan menjadikan Museum Lima Gunung beroleh tambahan koleksi pemikiran dari tokoh itu.
Para wali penyebar Islam di Nusantara pada masa lalu meninggalkan catatan peranan mereka sebagai arsitek kebudayaan, antara lain melalui berbagai terobosan mengonversi nilai-nilai budaya sebelumnya menjadi budaya baru, dalam wujud prosesi budaya, pitutur, tembang, wayang, maupun kesenian lainnya.
Karya budaya mereka menjadi tradisi yang sampai saat ini masih dijalani keraton dan masyarakat, terutama terlihat jelas pada hajatan di desa-desa dan kalender desa mereka.
"Persoalan itu kemudian, upacara kehilangan spirit historis, akhirnya jadi 'entertainment' (pertunjukan), jadi komoditi pariwisata. Mungkin perlu diurai setiap upacara kenapa ada ngobong menyan, biar terkabul. Dari sisi 'exiting' lokal, semua ada ada historisitas, spiritualitas, kultur. Ini yang kita belum memperkaya," katanya.
Baca juga: Orientasi berpikir, dari Keraton Agung Sejagat hingga keindonesiaan
Begitulah kiranya Museum Lima Gunung memerankan diri sebagai tempat ingatan komunitas yang masih terus bergerak itu, dikoleksi.
Museum yang tak sekadar menyimpan koleksi seni bendawi, juga bukan hanya jejak kecerdasan personal dan lintas-ragam pegiatnya, akan tetapi kebijakan dan kearifan bersama untuk membangun orientasi kebudayaan.
Datanglah ke Museum Lima Gunung! Di situ, pengunjung cerdas hati mungkin bertemu dengan jejak-jejak karya hati sosok-sosok desa dan keragaman nilai yang dijangkau komunitasnya dalam menghadapi denyut perkembangan kehidupan yang makin kompleks.
Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020