Mereka menjadi migran karena gaji yang didapat lebih tinggi daripada bekerja pada kapal ikan dalam negeri. Mereka bisa mengisi kebutuhan dalam negeri

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dimintaharus betul-betul memprioritaskan penggunaan awak buah kapal (ABK) perikanan atau nelayan lokal dalam memberdayakan sektor perikanan tangkap di dalam negeri sebagai upaya meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir.

"Dalam pengelolaan perikanan tangkap, pemerintah sebaiknya prioritaskan ABK dalam negeri," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Selasa.

Menurut Abdi Suhufan, ABK dalam negeri secara teknik sudah banyak yang menguasai berbagai macam teknologi penangkapan yang efektif.

Selain itu, ujar dia, perlu diingat bahwa terdapat hingga ratusan ribu ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan yang berpusat di negara lain.

"Mereka menjadi migran karena gaji yang didapat lebih tinggi daripada bekerja pada kapal ikan dalam negeri. Mereka bisa mengisi kebutuhan dalam negeri," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia.

Terkait permasalahan ABK berkewarganegaraan Indonesia tersebut, lanjutnya, maka pemerintah juga mesti memperhatikan masalah kesejahteraan terutama gaji tetap dan jaminan sosial.

"DFW mengkhawatirkan ABK dalam negeri tidak akan terserap dengan membanjirnya TKA (tenaga kerja asing). Dengan keberadaan TKA juga berpotensi terjadinya praktik transhipment dan kerja paksa dan perdagangan orang sebab pengawasan tenaga kerja perikanan atau awak kapal perikanan di Indonersia saat ini masih lemah," kata Abdi Suhufan.

Sebagaimana diwartakan, nelayan tradisional yang sangat bergantung kepada tangkapan ikan untuk penghidupan sehari-hari dirinya dan anggota keluarganya diharapkan jangan sampai dipersulit dengan berbagai regulasi yang akan muncul dari RUU Omnibus Law.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menyatakan, pihaknya mencatat sejumlah dampak yang akan dialami oleh masyarakat pesisir jika RUU ini disahkan, antara lain nelayan-nelayan kecil maupun nelayan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 gross tonnage (GT) serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, berpotensi untuk harus mengurus perizinan perikanan tangkap.

Tak hanya itu, ujar dia, RUU tersebut menyamakan nelayan kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar, nelayan yang menggunakan perahu di atas 10 GT. "Padahal, nelayan kecil dan nelayan tradisional diperlakukan khusus oleh UU Perikanan, karena mereka ramah lingkungan serta tidak mengeksploitasi sumber daya perikanan," kata Sekjen Kiara.

Susan mengingatkan bahwa RUU Omnibus Law juga bakal menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Peisisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Namun, lanjutnya, sampai dengan akhir tahun 2019, baru sebanyak 22 Provinsi di Indonesia telah merampungkan pembahasan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Perda Zonasi).

"Artinya, ada 12 provinsi lainnya yang belum menyelesaikan pembahasan perda zonasi yang merupakan tata ruang lautnya," katanya.

Baca juga: KKP minta pengusaha patuhi asuransi nelayan bagi ABK
Baca juga: Pengamat dorong pengusaha perikanan tingkatkan perlindungan ABK
Baca juga: LSM minta kementerian lepas ego sektoral tingkatkan perlindungan ABK

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020