Ia menambahkan RUU Omnibus Law hanya berisi hal-hal yang spesifik mengenai penciptaan lapangan kerja, perpajakan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Yang saya ketahui bahwa RUU itu bukan terdiri dari 1.000 pasal lebih," kata Johnny di Jakarta, Rabu.
Kendati mengungkapkan hal tersebut, Menkominfo menolak untuk membicarakan RUU Omnibus Law lebih lanjut karena drafnya saja belum sampai ke DPR RI secara resmi.
Menurut mantan anggota Komisi XI DPR RI itu, belum tentu juga Kementerian Kominfo yang ditunjuk oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi sektor utama (leading sector) dalam pembahasan RUU Omnibus Law, meskipun di dalam RUU Omnibus Law nanti juga akan membahas aturan mengenai penyiaran.
"Itu omnibus law mungkin saya bukan leading sector-nya di situ, saya tidak bisa mengomentarinya sekarang sampai dengan saatnya nanti. Saya tidak yakin bahwa omnibus law mencakup keseluruhan peta jalan (road map) Kominfo itu sendiri karena itu hanya terkait dengan penyiaran, bukan terkait hal lain yang menjadi ranah (domain) Kominfo," kata Johnny.
Menurut Johnny, omnibus law adalah salah satu cara yang sedang coba dilakukan oleh Pemerintah bersama DPR RI dalam memangkas regulasi selain dengan melakukan revisi undang-undang dan kodifikasi undang-undang.
Politisi Partai NasDem itu berpendapat bahwa ada hubungan antara rencana strategis yang dicanangkan Kementerian Kominfo dalam digitalisasi penyiaran dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Sebab, maksud Kemkominfo dengan adanya migrasi dari frekuensi televisi analog menuju frekuensi digital adalah ingin menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat dengan terciptanya pemasukan (dividen) baru dari usaha-usaha yang memakai frekuensi di Indonesia.
"Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja kan terkait dengan penciptaan lapangan pekerjaan. Kalau ada cipta dividen kan ada penciptaan lapangan pekerjaan baru. Kan ada frekuensi yang kosong, karena adanya digital dividen. Digital dividen itu spektrum yang lebih efisien yang bisa digunakan oleh regulator untuk diberikan kepada penggunaan lainnya," kata Johnny.
Frekuensi sebesar 112 Mega Hertz (MHz) dari frekuensi 700 MHz yang dipakai pertelevisian itu diklaim cukup besar untuk uplink maupun downlink sehingga memudahkan Pemerintah merencanakan pembangunan berbasis teknologi informasi.
Dengan adanya efisiensi frekuensi, maka ada sekitar 112 Mega Hertz yang bisa digunakan untuk saluran lainnya seperti pendidikan, kebencanaan, kesehatan dan lainnya
Selain itu, migrasi ke televisi digital sendiri berarti memangkas penggunaan frekuensi untuk kepentingan penyiaran dengan teknologi multiplexer. Dengan teknologi tersebut, dari satu frekuensi digital, bisa menampung 12 program siaran sekaligus.
Berbeda dengan sistem frekuensi analog yang menjadikan satu frekuensi untuk satu program siaran saja yang selama ini digunakan kebanyakan televisi di Indonesia.
"Dengan menggunakan teknologi multiplexer, akan lebih banyak lagi stasiun dalam frekuensi yang sama. Jadi lebih efisien dan menciptakan lapangan pekerjaan baru juga," kata Johnny.
Baca juga: Anggota DPR: RUU Omnibus Law utamakan pendapat publik
Baca juga: Puan ajak akademisi UI sukseskan RUU "Omnibus Law"
Baca juga: Mahfud MD berikan wawasan RUU "Omnibus Law" ke pekerja Sidoarjo
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020